Laman

Rabu, 14 Agustus 2013

SYEKH SAN'AN DAN GADIS KRISTEN

SYEKH SAN'AN

Dahulu kala, di daratan Arab, di kota Mekkah, hiduplah seorang syekh Sufi yang taat, soerang guru besar bernama San’an. Sudah lima puluh tahun lamanya dia mengabdikan hidupnya untuk melayanai Tuhan dan mahluk-Nya. Dengan tinggal di sebuah pertapaan, sang syekh membimbing calon-calon sufi di dalam perjalanan spiritualnya. Bila malam tiba, dalam gumaman doanya, dia berbagi misteri-misteri penciptaan bersama Tuhan Terkasihnya. Mereka yang datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, kerap mengunjungi sang syekh----untuk mendengarkan nasihatnya dan belajar dari ajarannya. Dia memiliki 400 orang murid, semua muridnya setia kepadanya. Mereka menuruti semua perintahnya tanpa menghiraukan kehendak dan keinginan mereka sendiri. Mereka mempercayai gurunya sepenuh hati, mereka meninggalkan keluarganya dan menjadi abdi sang syekh.
Suatu malam, San’an bermimpi. Dia melihat dirinya berada di kota Rum, di wilayah Kerajaan Byzantium,sedang tunduk kepada suatu berhala. Dia terbangun dengan perasaan tegang, takut mimpinya merupakan pertanda dari Tuhan atas peristiwa yang akan terjadi. San’an coba mengenyahkan mimpinya, berkata pada dirinya bahwa itu tak lebih sekedar mimpi dan tidak punya arti apa-apa. Tetapi dia menjadi cemas ketika mimpi itu datang kembali dan terus muncul di dalam tidurnya. Ketika dia tidak lagi dapat mengabaikan mimpi buruk yang menghantuinya, San’an memutuskan untuk pergi ke Byzantium agar mengetahui apa yang di simpan Tuhan untuknya.
Sewaktu San’an berkemas-kemas, banyak muridnya berkeras menemaninya, sebagaimana kebiasaan kaum sufi di  kala itu. San’an memperingatkan mereka bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh mungkin tidak akan menyenangkan, tetapi mereka tetap pada pendiriannya. Maka San’an dan murid-muridnya pun berangkat, berjalan siang dan malam, tidak peduli akan hujan, tak seorang pun yang mengeluh.
Akhirnya mereka tiba di dekat sebuah tempat peribadatan di perbatasan Kota Rum. Ketika mereka mengamati tempat itu, syekh mendengar suara yang menyentuh jiwa, suara yang lebih lembut di banding tiupan angin sepoi-sepoi, lebih ringan dari bulu, dan menyanyikan lagu cinta yang menbuat hati dipenuhi hasrat. Syekh mengikuti suara itu. Dia tiba di sebuah jendela terbuka di lantai kedua tempat ibadah itu. Di situ tampak seorang gadis Kristen sedang duduk menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna keemasan sambil menyenandungkan bait-bait kesedihan. Cahaya memantulkan rambutnya, bibirnya yang merah dan mengkilat sediki tmerekah seolah-olah siap menerima ciuman, dan lehernya yang putih seperti pualam, terlihat dari celah kerah bajunya, menciptakan pemandangan yang begitu indah sehingga bahkan orang sealim San’an pun terpesona. San’an terpaku melihatnya, dia tidak dapat mengalihkan tatapannya. Hatinya berdebar kencang dan nafasnya sesak. Dalam sedetik, lebih singkat dari sekejap mata, orang tua itu jatuh cinta kepada gadis Kristen tersebut. Akhirnya dia terduduk di tempat, tubuhnya menggigil, dan dia menangis, “Oh Tuhanku! Aku ini terbuat dari apa? Api apa ini; membakar jiwaku, merampasku dari keberadaanku?”

San’an duduk di dalam api cintanya yang meluluhkan jiwa dan pikirannya. Dalam sekejap dia telah melupakan siapa dirinya dan darimana dia berasal. Tidak ada lagi yang dipedulikannya  kecuali memandang kembali wajah gadis tadi. Namun gadis itu telah meningalkan  jendela dan menghilang tanpa menghiraukan ratapan dan tangisan sang Syekh.
Murid-murid San’an yang akhirnya menemukan gurunya dalam keadaan menderita begitu, kebingungan tidak tahu harus berbuat apa. Mengira syekh mungkin baru saja melampaui sebuah tahapan, mereka coba mengatakannya, tetapi tidak membantu, Syekh tidak mendengar apa yang mereka katakan dan hanya berdiri menatap jendela kamar si gadis yang sekarang kosong.
Menjelang malam, Syekh semakin menderita karena dia menyadari bahwa dia harus nenunggu hinga pagi agar bisa melihat kembali cintanya. Agaknya gelapnya malam memberikan racun cinta yang kuat, yang menambah kerinduannya, dan hatinya terluka lebih dalam. Dia meratap dan merangkak di atas tanah. Dia mencakari tanah dan meremasnya dengan tangan gemetar, membasahinya dengan air mata. “Tak pernah ku alami malam yang begitu panjang,” rintihnya,”Malam-malam penuh derita pernah ku alami, tetapi tidak ada yang serupa seperti malam ini. Tidak pernah ada yang membuatku begini sedih, dan tak pernah aku merindu seperti malam mini. Aku seperti lilin yang kehilangan malam. Cahayaku akan dipadamkan oleh sinar mentari, dan aku tidak akan bertahan hidup lebih lama untuk menyampaikan kisah tentang malam yang mengerikan ini. Tidak ada lagi kesabaran yang ku punya untuk melewati kegelapan----juga tidak ada lagi pikiran untuk meyakinkan ku tentang alasan datangnya fajar. Tubuhku remuk dibawah beban cinta ini. Di mana lenganku, setidaknya aku bisa mengubur diri di bawah tanah kotor ini agar aku tidak harus menanggung perpisahan ini, atau di mana kakiku, agar aku dapat membawa cintaku! Andai kau memiliki teman yang simpatinya dapat membebaskanku! Oh, aku tidak punya apa-apa lagi. Telah kuberikan segalanya ke dalam cinta yang menerjang merampas menghempaskan ini!”
Murid-murid San’an berkumpul mengelilingi syekhnya yang tengah menderita, mereka ikut merintih bersamanya sepanjang malam. Bukan karena mereka mengerti, tetapi karena mereka sedih dan bingung atas apa yang terjadi pada gurunya.
Begitulah, San’an mabuk kepayang kepada gadis Kristen yang melayani rumah ibadah tersebut. Kegilaan menimpa San’an sehingga dia lupa akan masa lalunya. Seakan-akan dia tahu dunia akan berakhir; yang dipedulikannya hanya sepasang mata biru memikat yang seolah mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Pada malam kedua, San’an menjadi sangat resah. Murid-muridnya kembali berkumpul mengelilinginya, mengkhawatirkan keadaan San’an. Mereka berpikir bahwa mungkin mereka dapat berbicara dengan San’an untuk mengeluarkan San’an dari obsesinya. Masing-masing maju mendekati San’an dengan saran dan anjuran.
“Kenapa tidak engkau lupakan saja gadis itu? Lakukanlah penyucian diri untuk membersihkan jiwamu, dan kita semua bisa pulang.”
“Penyucian diriku sudah ku lakukan dengan darah dari hatiku yang terluka. Jangan bicara tentang penyucian diri denganku, kau tidak tahu apa-apa tentang hati yang bersimbah darah karena cinta!”
“Jika engkau bertobat atas dosa-dosamu, Tuhan akan memaafkanmu, karena engkau telah menjadi syekh selama bertahun-tahun.”
“Apa yang ku sesali adalah ke-syekh-anku, dan tidak ada lagi yang selain itu.”
“Engkau penuntun kami menuju cahaya, orang yang mengetahui jalan menuju Tuhan. Jika engkau berdoa kepada_Nya, Dia pasti akan mendengarmu dan memaafkanmu.”
“Aku berdoa untuk jelita yang memabukkan itu. Semua-mua doaku telah terikat, terpikat kepadanya.”
“Apa engkau tidak menyesali cinta beginian, yang telah sepenuhnya membutakanmu?”
“Aku sungguh-sungguh menyesal, namun hanya menyesali satu hal----bahwa mengapa aku tidak jatuh cinta dari dulunya.”
“Tidakkah engkau peduli akan apa yang dipikirkan orang lain?”
Apa yang dikatakan orang bila mereka mendengar syekh mereka yang alim telah tersesat?”
“Apa yang dikatakan orang lain tentang aku tidak lagi menjadi masalah untukku. Kenapa aku harus mempedulikan anggapan mereka terhadapku?” Aku terbebas dari hal itu, sekarang.”
“Tidakkah engkau peduli pada sahabat-sahabatmu----terhadap kami dan murid-murid mu yang lain? Tidakkah engkau menyadari, hati kami terluka melihat engkau begini?”
“Yang ku pedulikan hanyalah melihat kekasihku bahagia. Bagiku yang lain sudah tiada.”
“Ayolah, mari kita kembali ke Mekkah dan Ka’bahnya. Kita lupakan perjalanan ini serta apa yang telah terjadi di sini.”
“Mekkah ku satu-satunya adalah tempat ini, dan Ka’bahnya adalah jelita di tepi jendela itu. Di sinilah tempat orang mabuk cinta dan bukan di sana.”
“Setidaknya, sadarlah akan Firdaus. Engkau sudah tua dan tidak punya banyak waktu tersisa. Jika engkau berharap bisa masuk Syurga, tinggalkan kesia-siaan ini.”
“Surga apa yang paling indah dibandingkan paras malaikat kekasihku? Untuk apa Firdaus jikalau aku memiliki yang satu ini.?”
“Tidakkah engkau malu di hadapan Yang Mahakuasa? Selama bertahun-tahun Dia menjadi penghidupanmu satu-satunya. Bagaimana engkau bisa menghianati-Nya sekarang?”
“Bagaimana aku dapat melarikan diri dari jebakan yang Tuhan sendiri ciptakan untukku?”
“Oh, Syekh yang luhur, ini permintaan kami yang terakhir. Demi Allah, kembalilah kepada keyakinanmu dan jangan abaikan kami, murid-muridmu ini.”
“Jangan memimtaku begitu. Aku tenggelam di dalam hujjah, dan untuk orang yang telah menyingkirkan keyakinan dan memilih fitnah, tidak ada jalan untuk kembali.”
Ketika mereka gagal member saran, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat yang tidak jauh dari situ, untuk berjaga-jaga siapa tahu San’an berubah pikiran. Satu-satunya cara agar mereka dapat menahan kepedihan karena kehilangan guru mereka, adalah dengan berharap bahwa semuanya akan segera berakhir seperti sedia kala.
Siang berganti malam, masih belum ada perubahan. San’an berdiam diri di seberang peribadatan itu, di mana segerombol anjing liar biasanya berkumpul. Tempat itu berada di pinggir jalan yang biasa dilalui si jelita bila hendak ke kota. Berharap gadis itu akan memperhatikannya, San’an duduk dengan sabar, menatap gadis itu dengan penuh kerinduan setiap kali gadis itu lewat. Namun sang gadis tidak pernah melihatnya, terus berjalan menuju kota, seakan-akan tidak menyadari keberadaan San’an sama sekali.
Karena tidak mengetahui nama kekasihnya, syekh memberinya nama sinar mentari (Ayn Syams). Dia membuat puisi dengan nama itu, kemudian menyanyikannya dengan nada sumbang sedih. Dia telah termangsa oleh cintanya sehingga tidak menghiraukan makan dan minum. Jika ada orang yang melemparkan sisa-sisa makanan untuk anjing liar, dia akan ikut ambil bagian; bila tidak, dia kelaparan tanpa bahkan menyadarinya.
Pada akhirnya gadis itu melihat seorang lelaki tua aneh yang sedang duduk di atas debu. Karena ingin tahu, si gadis bertanya, “Kenapa engkau tinggal di sini bersama anjing? Apa engkau tidak memiliki rumah atau saudara?”
Saking girangnya disapa si Sinar Mentari, syekh menjawab, “Aku tidak kenal rumah atau saudara. Apa yang ku kenal adalah bahwa aku telah jatuh cinta padmu, dan akan tinggal di sini hingga engkau melihatku pantas untuk cintamu.”
Sinar Mentari tertawa mendengarnya dan mencemoohnya dengan jijik. “Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri? Kau pantas untuk jadi kakekku. Orang seusia mu hanya pantas masuk kubur. Gadis semuda dan secantik diriku layak mendapatkan pemuda yang tampan.”
“Cinta tidak mengenal usia. Tidak peduli muda atau tua, cinta berpengaruh sama. Aku adalah abdimu, dan akan melakukan apapun yang engkau katakan, jelitaku.”
Sang guru membicarakan cinta dan deritanya dengan begitu penuh perasaan sehingga perlahan-lahan sang gadis mempercayai ketulusannya. Sesungguhnya, gadis itu sadar, San’an akan melakukan apa pun keinginannya. Maka gadis itu berkata, “Jika apa yang kau katakana benar, maka engkau harus meninggalkan keyakinanmu dan berpindah ke dalam agama kami. Engkau harus membakar Kitab Suci dan meninggalkan seluruh kewajibanmu dari agamamu. Engkau harus meminum anggur dan menanggalkan jubah ke-syekh-anmu.”
San’an menjawab tuntutan yang mengejutkan tersebut dengan tenang. “Cinta menciptakan banyak tantangan bagi seorang pencinta. Ujiannya kejam dan bersimbah darah, tetapi hasilnya manis dan menyenangkan. Pencinta sejati tidak kenal agama, karena cinta itu sendiri merupakan keyakinannya. Dia tidak mengenal status, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi dibandingkan menjadi bagian dari cinta.”
Ketika para pendeta dan anggota gereja Byzantium mendengar seorang guru sufi telah setuju meninggalkan agamanya, mereka segera berpesta. Mereka menyelenggarakan acara di mana syekh melemparkan Alquran ke dalam api, di mana syekh menanggalkan jubahnya dan mengenakan sabuk gereja. Lalu syekh meminum anggur dan membungkuk tunduk kepada si jelita pujaan hatinya. San’an bersuka cita dengan yang lainnya, sambil bernyanyi, “Aku menjadi bukan apa-apa untuk cinta. Aku telah menjadi aib di dalam cinta. Tak seorang pun melihat apa yang dapat ku lihat dengan cinta.”
Sementara umat Kristen bergembira, murid-murid syekh meratap. Hati mereka retak dan hancur, karena guru mereka tidak melihat mereka menderita ataupun mendengar rintihan mereka.
San’an telah tunduk sepenuhnya pada perintah kekasihnya----­­­­­­­­­­­tanpa peduli bahwa itu melanggar semua yang dulu dipertahankannya. Dan itu pun masih belum cukup; dia masih ingin membuktikan cintanya dengan memenuhi keinginan gadis dalam setiap tindakannya. Maka San’an pun bertanya,”Apa lagi yang dapat ku lakukan untuk mu?”
Gadis itu mendongak dan tertawa, “Engkau harus menyediakan uang untukku. Aku ingin perhiasan, emas dan koin perak. Jika engaku tidak memilikinya, jangan buang waktumu, orang tua, pergilah dari pandanganku.”
Syekh menjawab bahwa dia tidak memiliki tujuan lain kecuali tempat ibadah tersebut, karena keberadaannya telah tersesat di dalam diri sang gadis. Bahwa dia tidak memiliki apa-apa kecuali hatinya, dan itu pun sudah dia berikan kepada sang gadis. Bahwa dia tidak dapat hidup tanpa sang gadis----dia tidak tahan jauh dengannya. Dia akan melakukan apa saja yang diinginkan gadis, asal bisa bersamanya.
“Syarat pernikahanku,”Kata gadis itu penuh pertimbangan, “adalah engkau harus mengurus babiku selama satu tahun. Bila dalam jangka waktu itu engkau memenuhi keinginanku dengan memuaskan, aku akan jadi istrimu.”
Denngan senang hati San’an tinggal di kandang babi, dan dengan penuh perhatian dan kasih sayang dia merawat hewan-hewan yang tidak disukai kaum muslim itu. Melihat gurunya tinggal di kandang babi, adalah hal yang terlalu memalukan bagi murid-murid San’an. Mereka mendatangi syekh dan memohon,”Apa yang harus kami lakukan sekarang? Apakah engkau menginginkan kami pindah agama juga? Kami akan tinggal denganmu jika engkau mau.”
San’an berkata bahwa dia tidak menginginkan apa-apa dari mereka, dan mereka sebaiknya menempuh jalan mereka sendiri. Jika ada yang bertanya tentang mereka, dia akan mengatakan yang sebenarnya. Sekarang mereka harus pergi dan membiarkannya memelihara babi, karena dia tidak mempunyai waktu untuk mereka.
Sambil menagis murid-murid syekh kembali ke Mekkah. Di sana mereka segera memisahkan diri karena takut harus menjelaskan kepada murid-murid lain mengenai apa yang telah terjadi di Rum. Namun ada satu orang yang tidak dapat mereka hindari. Orang itu adalah sahabat mereka, yang sedang mengembara ketika syekh beserta mereka pergi ke Rum. Ketika dia pulang dan tidak menemukan gurunya, dia menanyakan kepada mereka. Mereka terpaksa menceritakan semuanya.
Ketika mereka selesai, orang itu menjerit, dan berteriak dengan marah, “Murid macam apa kalian ini? Jika kalian mencintai sang guru, kalian harus membuktikannya. Kalian harusnya malu kepada diri kaliansendiri! Jika guru kalian membuang jubah sufinya dan mengenakkan sabuk pendeta, kalian seharusnya melakukan hal yang sama. Jika beliau tinggal di kandang babi, kalian seharusnya  ikut bersamanya. Itulah tuntunan cinta----tidak peduli dibilang memalukan atau tidak waras. Beraninya kalian menghakimi syekh kita berbuat salah! Apa yang memberi kalian kekuasaan untuk menasihatinya agar meninggalkan cintanya?”
Karena malu oleh temannya, murid-murid itu merendahkan kepala dengan penuh kesedihan. Dengan penyesalan mendalam, mereka memasuki tempat pengasingan diri di rumah murid yang setia tadi, mereka tidak makan maupun minum.
Pada hari ke 40, murid yang setia, yang telah menangis siang dan malam dalam duka cita untuk gurunya, mendapatkan sebuah pengelihatan. Telah muncul awan debu dari tempat ibadah yang melayang-layang antara syekh dan Tuhan. Tiba-tiba, awan debu itu menghilang, lalu syekh diselimuti cahaya. Kemudian terdengar suara kekal berkata,”Orang harus dibakar api Cinta agar layak menemui Kekasih Abadi. Nama dan jabatan tidak memiliki nilai di dalam Kesaksian Cinta. Sebelum dia dapat melihat Kebenaran, debu eksistensi harus dibersihkan dari cermin jiwa. Hanya setelahnya dia dapat melihat refleksi Kebenaran Kekasih di dalam cermin.”
Sang murid berlari menemui teman-temannya, dan menceritakan penglihatannya. Tanpa membuang waktu mereka segera kembali ke Rum.
Di luar kota, mereka menemukan syekh yang sedang bersujud di tanah, menyembah Tuhan. Dia telah melampaui mesjid dan gereja, terbebas dari Islam maupun Kristen, terlepas dari perlekatannya pada status atau kealiman, dia telah bebas dari diri, bersatu dengan Kekasih Sejati. Syekh tampak diam, meski matanya besinar, sarat dengan rahasia kebahagiaan yang hanya diketahui oleh Sang Kekasih. Dan pencinta. Murid-murid berkumpul mengelilingi gurunya. Syekh bergabung dengan mereka kembali. Berasama-sama mereka kembali ke Mekkah.
Sementara itu, gadis yang diberi nama sinar Mentari oleh San’an memperoleh mimpi yang luar biasa. Di dalam mimpinya Tuhan menampakkan diri sebagai matahari. Gadis terjermbab di atas tanah dan menangis, “Oh, Tuhanku, betapa dungu aku yang belum mengenal-Mu. Tunjukkan jalan menuju-Mu, karena sekarang aku telah melihat kecantikan-Mu, aku tidak lagi dapat hidup tanpa-Mu. Aku tidak dapat berhenti sedikit pun hinga aku menyatu dengan-Mu.”
 Gadis itu tidak sadarkan diri, kemudian menangis salama berjam-jam. Akhirnya sebuah panggilan datang dari Syurga; “Pergilah kepada syekh. Dialah yang akan menunjukanmu jalan.”
Dia bergegas keluar tanpa sempat mengenakkan alas kaki. Ketika dia menemukan San’an telah berngkat ke Mekkah, gadis itu berlari ke luar kota, menuju gurun mencari kafilah sang guru. Tetapi sudah terlambat kafilah itu telah pergi berjam-jam sebelumnya. Gadis tanpa alas kaki itu terus berlari siang dan malam, tanpa air maupun makanan. Sepanjang jalan air matanya jatuh menderas membasahi pasir yang kerontang. Dia menjerit sedih dan pedih, memanggil sang guru dengan penuh cinta dan sayang.
Tangisnya sampai juga kepada hati syekh. Dalam hatinya syekh paham bahwa sang gadis telah meninggalkan semua yang dimilikinya untuk mencari Kekasihnya. San’an memberitahukan murid-muridnya berita tersebut, dan mengirim mereka untuk mencarinya. Mereka menemukan gadis itu dalam keadaan yang menyedihkan, terbaring di atas pasir karena kehausan dan kelelahan, sambil memanggil-manggil syekh.
Di hadapan syekh gadis itu mencium kaki syekh, dan memohon; “Guru besar, aku terbakar oleh cinta. Aku rindu ingin melihat Kekasihku, meski mataku tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan. Bantu aku untuk melihat-Nya, karena aku tidak bisa bertahan tanpa Tuhanku.” Syekh menggenggam tangan si gadis dengan lembut, dan menatap ke dalam matanya seolah-olah melihat langsung ke dalam jiwanya, menuntun jiwanya menuju Tuhan melalui jiwa syekh. Sang gadis terisak, “Oh,Cinta, aku tidak tahan untuk berpisah lagi. Selamat tinggal guru besar dari segala usia!”
Dengan berucap begitu Sinar Mentari menyerahkan jiwanya kepada Kekasihnya dan kemudian meninggal dunia.
San’an berdiri, tidak bergerak untuk beberapa jenak. Murid-muridnya khawatir gurunya akan gila lagi. Namun akhirnya San’an mengangkat kepala dan menerawang jauh ke arah gurun sambil berkata, “Beruntunglah mereka yang telah menyelesaikan perjalanannya dan menyatu dengan Sang Kekasih. Mereka terbebas, karena di dalam penyatuan dengan Tuhan-lah mereka hidup.”
San’an menghela nafas dan menambahkan,”Dan malanglah bagi mereka yang ditakdirkan untuk menuntun yang lainnya menuju Tuhan----karena mereka harus mengabaikan penyatuan dan terikat demi kesenagan dan kehendaknya!”


Wassalam…
Demikianlah kisah San’an dan gadis Nasrani insya Allah di lain waktu saya akan posting kisah para sufi yang lain.

Selasa, 13 Agustus 2013

SEJARAH SINGKAT SUFISME

SEJARAH SINGKAT SUFISME



Sufisme adalah sebuah sistem spiritual yang telah mempengaruhi sebagian besar literatur dunia dan telah menembus pelbagai ranah budaya, dari Eropa Selatan dan Eropa Timur hingga Afrika Utara dan Afrika Tengah, dari Timur Tengah hingga ke wilayah daratan Barat Cina. Dampak Sufisme terhadap budaya Islam dapat dengan mudah dideteksi.desain pelbagai bangunan dan arsitektural secara umum, pola puisi dan musik, serta efek-efek visual warna dan kaligrafi, semuanya berada dalam wilayah pengaruh Sufi di Timur Tengah. Mungkin yang kurang begitu diketahui adalah bahwa sebenarnya konsep-konsep seperti cinta romantis dan sifat-sifat ksatria diadopsi oleh Barat ketika Eropa menjalin hubungan dengan para Sufi. Lebih jauh, banyak hasil karya literature barat yang sebenarnya berakar pada kisah-kisah sufi. Sebagai contoh, legenda Swiss tentang William Tell sebenarnya ditulis berdasarkan kisah”Aththar” Mantik ath-Thayr, dan seperti yang diakui sendiri oleh Carvantes, kisah Don Quixote besrumber pada sufi.
Kaum terpelajar berselisih pendapat tentang asal mula kata Sufi. Meskipun sebagian besar sepakat bahwa kata Sufi berasal dari bahasa Arab, Shuf, yang artinya “wol”, dan merujuk pada invidu yang mengenakan pakaian berbahan wol. Kisah legenda menyebutkan bahwa baik Nabi Musa maupun Nabi ‘Isa mengenakan pakaian yang terbuat dari wol. Begitu juga ketujuh puluh murid Nabi Muhammad SAW. Mengapa dipilih wol? Mungkin tidak ada alasan khusus kecuali bahwa harga wol saat itu sangat murah. Meski demikian, Karena wol kasar dan sangat tidak nyaman jika dikenakan langsung diatas kulit yang telanjang, pemakaian pakain dari wol dapat berarti mewakili sikap penolakan terhadap dunia materi dan kenyamanan fisik.
Kata Sufi dan sufisme  (di dalam bahasa umat Islam) baru dipakai setelah 150 tahun wafat Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pelaksanaan ibadah yang ketat berdasarkan Hukum Ketuhanan (Syari’ah) dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencapai keselamatan. Golongan mistik menghabiskan hidupnya untuk berpuasa dan berdo’a di dalam kesenyapan, menjauhkan diri dari hiruk pikuk masyarakat. Mayoritas dari mereka kelihatannya lebih memperhatikan api Neraka dan buah Syurgawi ketimbang mendekati Tuhan. Meskipun ada guru- guru yang membantu dan menuntun, konsep tarekat atau sekolah belum muncul pada saat itu.
Barulah sekiar 800-850 M, guru-guru spiritual biasa mencapai satu titik dimana mereka mulai menganjurkan amalan-amalan untuk mencapai keselamatan, amalan-amalan yang berbeda dengan peribadatan yang ditemukan oleh Syari’ah.amalan-amalan baru ini pada umunya menyertakan zikir (benar-benar “mengingat”, yang merupakan lantunan asma Allah dan sifat-sifat-Nya), serta berpartisipasi didalam irama pertemuan rutin dan aktivitas-aktivitas, baik aktivitas diseputar hukum-hukum religius maupun pelaksanaannya. Guru-guru di zaman ini (dan beberapa lagi yang datang kemudian) berpendapat bahwa pelajaran Syari’ah sebagai dasar pendidikan yang diterima di sekolah diperlukan untuk setiap individu yang akan memasuki universitas pendidikan spiritual yang lebih tinggi. Pendidikan skunder ini disebut Thariqah (jalan). Umumnya Thariqah diyakini sebagai suatu tingkatan yang menghubungkan Syar’iah dan Haqiqah (kebenaran dan pencerahan), dan bahwa Syari’ah diyakini belumlah cukup untuk membekali orang sehingga orang tersebut menyadari kebenaran.
Selama periode ini, hingga sekitar 1450 M. dapat dianggap sebagai tahun-tahun emas sufisme. Perhatikan bahwa penekanan peribadatan sudah betul-betul beralih dari ketakutan mengahadapi api neraka dan menginginkan buah syurgawi menjadi proses pencapaian menuju Allah. Selama tahun-tahun inilah tokoh-tokoh besar seperti Ibn ‘Arabi, Aththar, Rumi, Syah Ni’matullah Wali, dan yang lainnya terlahir. Di akhir era ini, ada dua konsep yang sudah terbentuk dengan baik. Konsep yang pertama adalah menyangkut prinsip-prinhsip yang berkenaan dengan pandangan kaum sufi terhadap dunia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kesatuan Wujud (Wahdah al-wujud), Ibn ‘Arabi merupakan guru pertama yang mengajarkan konsep ini kepada murid-muridnya. Konsep yang kedua adalah ide tentang rantai atau tarekat para guru sufi (silsilah).
Menurut Konsep Kesatuan Wujud, eksistensi, termasuk apa yang kita sebut sebagai kosmos, adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah dan eksistensi yang demikian itu tidaklah terpisah dari-Nya. Rantai atau tarekat guru-guru sufi menyediakan bantuan bantuan dan tuntunan bagi keinginan si pencari untuk mencapai Allah. Sebagian besar tarekat sufisme meraih eksistensinya di masa sekarang ini, terutama cabang-cabang dari rantai utama yang bila dirunut akan tiba pada ajaran al-Hasan al-Bashri (yang diberi pelajaran dan diinisiasi oleh ‘Ali, keponakan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW.)
Penggolongan para guru sufi tersebut tidak dimaksudkan agar mereka saling berkompetisi. Seorang murid akan menerima hak untuk menginisiasi dan menuntun murid lainnya dan kemudian diperintahkan hijrah ke kota yang berbeda dan membangun satu pusat pendidikan di kota tersebut. Seringkali, setelah beberapa generasi, pusat pendidikan tersebut berkembang menjadi tarekat yang baru atau mungkin orang-orang di daerah tersebut tidak lagi berminat sehingga pusat pendidikan tersebut ditutup.
Karena semua orang dapat mengklaim dirinya sebagai seorang guru sufi, maka setiap pusat pendidikan sufi harus mampu menemukan garis silsilahnya. Banyak pusat pendidikan Sufi yang jika diikuti jejak garis silsilahnya akan sampai pada ‘Ali. Dan bila dirunut lagi, ‘ Ali diinisiasi Muhammad. Sesungguhnya ada tradisi Muslim yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW. Diangkat ke surga dan diberi selembar khirqah (jubah), dan jubah itu diberika kepada ‘Ali sebagai indikasi bahwa ‘Ali diizinkan untuk menuntun dan mengajari umat tentang jalan spiritual. Pada gilirannya, ‘Ali memberikan otoritas yang sama kepada keempat muridnya yaitu : al-Hasan dan al-Husayn (dua orang putranya), Kumayl dan al-Hasan al-Basri. Di dalam Sufisme klasik, keempat orang ini disebut sebagai Empat Mahaguru. Sebagian besar legitimasi tarekat Sufisme berasal dari salah satu keempat Mahaguru ini. Tarekat yang ditumbuhkan oleh al-Hasan al-Bashri disebut sebagai Tarekat Primer karena mayoritas rantai guru lainnya berasal dari tarekat tersebut.
Yang menarik, kaum sufi menganggap sebagian besar figur-figur dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai mahaguru mereka. Rumi misalnya, telah memberikan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Ibrahim, Musa (Moses), Sulayman (Solomon), Isa (Jesus),dan yang lainnya. Figur-figur tersebut dianggap sebagai manusia yang sempurna yang memiliki karakteristik dan kualitas ketuhanan. Semua figure tersebut mendasari ajarannya dengan ”plat-form” tertentu. Sebagai contoh, sebelum zaman ‘Isa figure-figur spiritual menuntun dan membantu umat dengan platform spiritual yang dibawah oleh Musa. Dengan datangnya ‘Isa platform ini berubah menjadi Kristen. Adalah hal yang sangat mengejutkan bila mayoritas guru sufi sekarang ini meyakini bahwa untuk mengikuti jalan sufi kita harus terlebih dulu menjadi penganut agama Islam, platform yang dibawah oleh Muhammad. Padahal jelas, ketika seorang mencapai tujuannya, jalan yang telah diambil tersebut sudah tidak relevan lagi.
Untuk para pembaca yang berasal dari Barat, kata Islam mungkin memerlukan definisi. Kata Islam  berasal dari bahasa arab yang artinya “pasrah” (to surrender). Oleh karena itu kata Islam menunjuk pada sebuah tindakan yang menyerahkan diri kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Sayangnya, sebagai akibat dari terjadinya pelbagai peristiwa di beberapa Negara Timur Tengah, kaum Barat mengasosiasikan kata Islam dan Muslim dengan pundamentalis, keras kepala dan kekerasan. Adalah hal yang sangat menyedihkan apabila stereotip-stereotip semacam itu menghalangi seseorang untuk mengapresiasi jalan spiritual murni, yaitu sufisme.
Sebenarnya, bukan hal yang sulit untuk memberikan ulasan singkat mengenai sejarah dan perkembangan jalan pencerahan manapun. Tetapi begitu kita mulai membahas jalan itu sendiri, kata-kata tidaklah mencukupi. Rumi mengatakan. “ketika tiba saatnya untuk menuliskan tentang cinta, pena akan patah dan kertas akan sobek.” Seperti halnya jalan spiritual lainnya, sufisme bersifat pengalaman. Sufisme adalah suatu jalan menuju Tuhan melalui gerbang hati yang digerakkan oleh kendaraan Cinta. Oleh karena itu, untuk memahami sufisme diperlukan bahasa hati.

Senin, 12 Agustus 2013

LEGENDA DAN KISAH AL-HALLAJ

LEGENDA DAN KISAH AL-HALLAJ


Dari mana al-Husayn Ibn Manshur mendapatkan nama panggilan al-Hallaj, nama yang jika diterjemahkan berarti “pemintal”? sepenuturan Aththar, kisah itu berbunyi begini: Syahdan, al-Husayn Ibn Manshur melewati sebuah gudang katun ketika dia melihat seonggok bunga kapas. Saat itu dia menunjuk onggokan tersebut, tiba-tiba saja biji-biji kapasanya terpisah dari serat kapasnya. Karena itulah dia dipanggil al-Hallaj. Dia juga diberi julukan Hallaj al-Asrar­---- ”pemintal Hati”, karena dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka bahkan sebelum mereka bertanya.
Al-Hallaj terkenal karena kekuatan dan kemampuannya yang menakjubkan. Salah seorang muridnya mencritakan kisah berikut ini:
 Ketika al-Halllaj menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, dia pergi ke sebuah pegunungan untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Setelah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa dia sedang merencanakan untuk mencicipi yang manis. Murid-muridnya bertanya-tanya bagaimana itu bisa terjadi padahal mereka telah menghabiskan seluruh bekal makanan mereka. Al-Hallaj tersenyum lalu berjalan menuju kegelapan malam. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan membawa sepiring penuh kue yang masih hangat, yang tidak mereka ketahui jenisnya. Al-Hallaj mengajak mereka memakan kue itu bersama-sama. Salah seorang muridnya yang ingin tahu bagaimana cara al-Hallaj memperoleh kue yang entah berasal dari mana itu, menyembunyikan jatahnya, kemudian ketika rombongan al-Hallaj pulang dari pengasingan diri tersebut, murid tadi mencari orang yang dapat mengenali jenis kue itu. Seorang lelaki dari Zabid, sebuah kota yang jauh, mengenali kue itu sebagai kue buatan kampung halamannnya. Murid al-Hallaj keheranan, menyadari bahwa al-Hallaj sebenarnya memperoleh kue itu melalui kekuatan gaib. Dia berseru,” tidak seorang pun kecuali jin yang dapat menempuh perjalanan sejauh itu dalam waktu yang begitu singkat.

***
Peristiwa lain terjadi ketika al-Hallaj sedang menyebrangi padang pasir bersama sekelompok orang di dalam perjalanannya menuju Mekkah. Teman-teman seperjalanan al-Hallaj berdoa agar mereka mendapatkan buah ara, dan al-Hallaj pun mengeluarkan satu nampan penuh buah ara dari udara. Mereka kemudian meminta Halwa, al-Hallaj mengeluarkannya, dia mengeluarkan satu nampan penuh Halwa yang masih hangat ditaburi gula. Setelah mereka memakannya, mereka berseru bahwa rasa manis Halwa tersebut begitu mirip dengan Halwa  buatan tetangga mereka di Baghdad, lalu bertanya pada al-Hallaj bagaimana cara dia memperolehnya. Al-Hallaj hanya menjawab bahwa baginya Baghdad maupun padang pasir tidak ada bedanya. Kemudian mereka meminta buah kurma, al-Hallaj terdiam sejenak lantas berdiri, lalu menyuruh mereka menggoyangkan tubuhnya seolah-olah dia adalah sebatang pohon kurma. Mereka melakukannya, dan buah kurma yang segar pun berjatuhan dari lengan baju al-Hallaj.
Di samping kekuatan gaibnya, al-Hallaj juga terkenal akan kekerasan hatinya. Ketika usianya mencapai usia 50 tahun, dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengikuti kepercayaan tertentu, melainkan akan mengambil amalan dari agama manapun yang paling sulit untuk nafsu-nya (egonya). Dia tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, dan dalam setiap doa dan sholat yang dilaksanakannya, dia melakukan penyucian diri yang paripurna.
Di awal jabatannya sebagai ulama, al-Hallaj memiliki jubah yang sudah tua dan robek, yang sudah dipakainya selama bertahun-tahun. Suatu hari,ada yang melepaskan jubah itu dengan paksa, dan ternyata banyak serangga yang bersarang di dalamny­­­­­­----salah satu serangga itu beratnya mencapai setengah ons. Di lain kesempatan, ketika al-Hallaj memasuki sebuah perkampungan, orang-orang melihat seekor kalajengking mengikutinya. Mereka berniat membunuh kalajengking itu. Al-Hallaj menghentikan mereka, dan berkata bahwa kalajengking itu telah menjadi temannya selama 12 tahun. Agaknya al-Hallaj sudah melupakan rasa sakit ragawi.
Asketisme al-Hallaj adalah caranya untuk meraih Tuhan; dengan Dia-lah al-Hallaj mengembangkan hubungan yang sangat khusus juga intens. Pada suatu hari, ketika dia berada di Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah hajinya, al-Hallaj melihat sekelompok orang yang sedang berdoa dalam keadaan letih. Al-Hallaj ikut besujud dan berkata “Oh, Engkau penuntun mereka yang tersesat, Engkau yang berada di atas dan di balik setiap pujian dari mereka yang memuji-Mu, Engkau yang berada di atas dan di balik penjelasan yang mereka berikan tentang-Mu. Engkau tahu bahwa aku tidak mampu menunjukan rasa syukur atas segala kebaikan-Mu. Lakukanlah di tempatku, karena hanya itulah penghargaan yang sepantasnya buat diri yang tak tahu syukur ini.”
Kisah yang lain menyinggung penangkapan al-Hallaj yang berakhir eksekusinya. Suatu hari al-Hallaj berkata pada sahabatnya, asy-Syibli, bahwa dia telah disibukkan oleh tugas besar yang hanya akan mengarahkannya kepada kematiannya. Ketika itu al-Hallaj sudah termashur, dan berita tentang kekuatannya yang menakjubkan telah tersebar, dia telah menarik banyak pengikut tetapi juga memiliki banyak musuh. Khalifah sendiri pada akhirnya mengetahui bah wa al-Hallaj telah menyerukan kalimat yang dianggap bid’ah, yaitu “ana al-Haqq”. Saat itu musuh-musuh al-Hallaj mendesaknya agar dia mengatakan, “Dia-lah kebenaran”. Al-Hallaj hanya menjawab, “Ya----semuanya adalah Dia! Engkau mengatakan bahwa al-Husayn (al-Hallaj) dia telah tiada. Tetapi samudera yang melingkupinya belum musnah punah.”
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj masih belajar di bawah asuhan al-Junayd, dia disuruh bersabar dan diam. Tetapi al-Hallaj terlalu progresif untuk mau menuruti nasihat tersebut, maka dia pun pergi. Beberapa tahun kemudian dia kembali kepada al-Junayd dengan membawa setumpuk pertanyaan. Al-Junayd hanya menjawab bahwa tidak lama lagi dia akan membuat tiang gantungan memerah karena darahnya. Rupanya prediksi al-Junayd terbukti benar.
Ketika al-Junayd ditanya tentang apakah ucapan al-Hallaj dapat diterjemahkan sedemikian rupa sehingga dapat menyelamatkan hidupnya, al-Junayd menjawab, “Biarkan dia terbunuh, karena sekarang bukan waktunya lagi untuk adu tangkas tafsir.” Al-Hallaj pun digelandang ke penjara.
Pada malam pertamanya sebagai tawanan, sipir penjara datang menjenguk. Mereka terheran-heran karena ruang tahanan al-Hallaj kosong melompong, pada malam kedua, bukannya al-Hallaj yang menghilang, melainkan penjaranya sendiri ikut lenyap! Pada malam ketiga, semuanya kembali normal. Penjaga penjara bertanya kepada al-Hallaj.”Kemana saja dirimu pada malam pertama? Dan apa yang terjadi padamu dan pada penjara pada malam kedua?” al-Hallaj menjawab,”Pada malam pertama aku sedang berada di dalam kehadiran Yang Maha agung (Tuhan), sehingga aku tidak berada di sini. Sedangkan pada malam kedua, Yang Mahaagung berada di sini, sehingga baik aku maupun penjara ini meluruh dalam ketiadaan. Pada malam ketiga aku dikirim pulang!”
Beberapa hari menjelang eksekusinya, al-Hallaj ditempatkan bersama-sama dengan 300 tahanan yang disekap bersama dengannya, semuanya dalam keadaan dirantai. Al-Hallaj mengatakan bahwa dia akan membebaskan mereka semua. Mereka heran, karena al-Hallaj membicarakan kebebasan mereka tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Al-Hallaj kemudian berkata,” Kita berada di dalam rantai Tuhan di sini. Jika kita berdoa untuk melakukannya, kita akan dapat memutuskan semua mata rantai!” lalu al-Hallaj menunjuk rantai itu, dan rantai itu pun terkuak. Para tawanan bertanya-tanya bagaimana mereka kan dapat melarikan diri sedangkan pintu-pintu penjara terkunci. Al-Hallaj kembali mengacungkan jarinya, dan jalan keluar pun muncul dari dalam dinding.
“Tidak ikut?” Tanya mereka.
“Tidak, ada satu rahasia yang hanya dapat diungkap di atas pilar tiang gantungan!” jawab al-Hallaj.
Keesokan harinya sipir penjara menanyakan apa yang telah terjadi pada tawanan lainnya. Al-Hallaj menjawab bahwa dia telah membebaskan mereka.
            ”Kenapa kamu tidak ikut pergi?” Tanya sipir.
            “Yang Agung telah menyalahkan aku, jadi aku harus tetap tinggal untuk menerima hukuman,” jawab al-Hallaj.
Ketika Khalifah mendengar percakapan tersebut, Khalifah berfikir bahwa al-Hallaj akan membuat kekacauan lagi. Oleh karena itu dia memerintahkan, “Bunuh dia atau cambuk dia hingga dia mengakui kesalahannya!” al-Hallaj pun dicambuk dengan cemeti sebanyak 300 kali. Disetiap cambukan terdengar suara lengkingan dari sang algojo, “jangan takut, putra Manshur.” Di kemudian hari, ketika guru Sufi Syekh Syaffar mengingat kembali peristiwa itu, dia mengatakan, “Aku lebih mempercayai keyakinan sang algojo ketimbang keyakinan al-Hallaj. Si algojo harus punya keyakinan yang kuat ketika mengeksekusi Hukum Ketuhanan, karena suara teriakannya terdengar begitu jelas namun tangannya tetap mantap.”
Al-Hallaj diseret ke tiang gantungan. Ratusan ribu orang berkumpul untuk menyaksikannya. Al-Hallaj menatap mereka, lalu dia berteiak: “Haqq, haqq, haqq, Ana al-Haqq,”---- Kebenaran, kebenaran, kebenaran, Akulah Kebenaran.”
Pada saat itu ada yang menghiba memohon pinta kepada al-Hallaj untuk mengajarinya hakikat Cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa dia akan melihat Cinta pada hari itu, besoknya dan besoknya lagi. Al-Hallaj dibunuh pada hari itu, hari berikutnya tubuhnya dibakar, dan di hari ketiga abu jasadnya disebarkan oleh angin. Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukan bahwa Cinta berarti menderita demi kepentingan yang lain.
Ketika berjalan menuju tiang pergantungan, al-Hallaj berjalan dengan penuh rasa tegar dan bangga.
“Kenapa engkau berjalan dengan begitu bangganya seakan tidak terjadi apa-apa?”Tanya orang-orang.
“Aku bangga karena aku sedang barjalan menuju tempat penjagalan!” kata al-Hallaj. Kemudia dia bersenandung.

            Kekasihku yang tercinta tak pernah menanggung kebersalahan,
                        Dia beri aku tegukan anggur dan pancaran
                                    Perhatian yang berlebihan;

                        Seperti tuan rumah yang menjamu tamunya,
                                    Setelah waktu berlalu
                        Dia mengmbil sebilah pedang dan lapik eksekusi

                        Inilah balasan bagi mereka yang mereguk anggur tua
                        Bersama singa tua di tengah meranggasnya panas matahari.

Ketika al-Hallaj diminta naik ke atas panggung tiang gantungan, dengan kemauannya sendiri al-Hallaj menaiki tangga panggung tersebut. Seseorang bertanya tentang hal-nya (kondisi spiritual, emosi-emosi bersifat pedalaman-diri). Al-Hallaj menjawab bahwa perjalanan spiritual seorang pahlawan dimulai di atas tiang gantungan. Al-Hallaj kemudian memanjatkan doa dan berjalan tegar, tanpa tak sedikt pun gentar dang getas.
Sahabatnya asy-Syibli, yang juga hadir di situ, coba bertanya, “Apakah sufisme itu?” Dengan suara yang sudah agak parau karena deraan siksa yang berlaksa, al-Hallaj menjawab bahwa apa yang dilihat asy-Syibli adalah tahapan sufisme yang paling rendah.
“Apa lagi yang lebih tingi dari itu?” seru asy-Syibli.
“aku khawatir engkau tidak punya cara untuk mengetahuinya,”
Jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj meringkuk lemah di tiang gantungan, setan datang dan bertanya, “Kamu telah mengatakan ‘Aku’ dan aku pun telah mengatakan ‘Aku’. Kenapa kamu menerima ampunan Tuhan yang abadi sedangkan aku mendapatkan kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab, “Engkau mengatakan ‘Aku’ dan memandang pada dirimu sendiri, sedangkan aku menjauhkan diriku sendiri dari itu. Maka dari itu, aku memperoleh ampunan sedangkan engkau mendapatkan kutukan. Memikirkan diri adalah hal yang tidak pantas, sedangkan melepaskan adalah perbuatan baik di atas semua kebaikan.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Tetapi ketika asy-Syibli melemparinya dengan setangkai bunga, untuk pertama kalinya al-Hallaj terengah dalam rintihan kesakitan. Seseorang bertanya, “Tak sedikit pun engkau memperlihatkan rasa sakit ketika dilempari dengan batu, tetapi mengapa hanya setangkai bunga membuatmu sakit sedemikian rupa. Kenapa begitu?”
Al-Hallaj berkata, “Mereka yang bodoh dimaafkan. Namun sulit melihat asy-Syibli melempariku, karena dia tahu bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.”
Sang algojo kemudian memotong lengannya. Al-Hallaj tertawa dalam kepayahan dan berkata,” Memenggal tangan seorang laki-laki yang terluka adalah kerja paling mudah, tetapi diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan dari seluruh perlambang yang memisahkan manusia dari Tuhan.” (dengan kata lain, untuk meninggalkan dunia yang besifat ganda dan masuk ke dalam kesatuan Tuhan memerlukan upaya yang luar biasa besarnya). Sang algojo kemudian memotong kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan meneruskan ucapannya dengan nada menantang,” Aku berkelana di atas bumi menggunakan kedua kaki ini. Aku punya yang lain untuk berkelana di kedua dunia. Coba potong itu jika kau mampu.”
Al-Hallaj kemudian mengusap wajahnya dengan tanggannya yang sudah bunting sehingga wajah dan tangannya bersimbah merah darah.”Kenapa engkau melumuri wajahmu dengan darah?” Tanya orang-orang. Al-Hallaj menjawab bahwa karena dia telah kehilangan banyak darah yang membuat wajahnya menjadi pucat. Dia mewarnai pipinya dengan darah agar mereka tidak berfikir bahwa dia takut mati.
”Lantas,” mereka kembali bertanya, ” Kenapa engkau melumuri lenganmu dengan darah?”
“Aku sedang berwudhu. Karena di dalam sholat Cinta hanya ada dua rakaat, dan itu memerlukan penyucian dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencongkel mata al-Hallaj. Hadirin yang menyaksikan menjerit, sebagian menangis, sedangkan yang lainnya mengutuk. Lalu telinga dan hidunya juga dipotong.
Sang algojo baru akan memotong lidahnya, ketika al-Hallaj kembali diminta untuk mengucapkan sesuatu. Al-Hallaj berkata, “Oh, Tuhan, jangan palingkan orang-orang ini dari-Mu atas perbuatan yang mereka lakukan untuk-Mu. Pujilah Allah, karena memotong anggota tubuhku demi engkau, dan apabila mereka memenggal kepalaku, itu juga terjadi karena keagungan-Mu.”Lalu dia menyenandungkan sebaris ayat Alquran: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa yang di jauhkan dari api Neraka dan di masukan ke dalam Syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenagan yang menipu daya.”QS.3:185)
Dan inilah kata-katanya yang paling pungkas: “Bagi mereka yang sedang bersuka cita, Keksih yang Tercintalah satu-satunya yang mencukupi.”
Tubuh al-Hallaj yang sudah tak berbentuk itu, yang masih memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, ditinggalkan di atas tiang gantungan sebagai pelajaran untuk yang lainnya. Baru pada keesokan harinya sang algojo memancung kepalanya. Ketika peristiwa pemancungan itu terjadi, al-Hallaj tersenyum lalu meninggal.
Orang-orang menjerit, namun al-Hallaj telah menunjukan betapa bahagia dan berharga baginya untuk bisa bersama kehendak Tuhan.
Setiap bagian tubuhnya mulai menjeritkan kalimat, “Ana al-Haqq”. Pada saat kematiannya, setiap tetes darahnya yang jatuh ke bumi melukis nama Allah.
Di hari berikutnya. Mereka yang berkomplot menentang al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun menimbulkan masalah bagi mereka. Oleh karena itu mereka memrintahkan agar tubuh al-Hallaj dibakar saja, tetapi meskipun telah menjadi abu, al-Hallaj tetap berteriak, “Ana al-Haqq”.
Al-Hallaj telah meramalkan peristiwa kematiannya dan menceritakan kepada pelayannya, bahwa abu mayatnya akan dilabuhkan ke muara Tigris. Saat itu permukaan airnya akan meningkat begitu tinggi sehingga seluruh Baghdad akan terancam tenggelam. Al-Hallaj memerintahkan pelayannya untuk membawa jubahnya ke muara Tigris ketika hal itu terjadi, agar airnya kembali tenang. Pada hari ketika abunya benar-benar dibawa angin dan tersebar ke dalam air muara sungai Tigris, air itu terbakar dan terdengar suara, “Ana al-Haqq.” Permukaan air mulai meningkat. Pelayan al-Hallaj pun melaksanakan apa yang sudah diperintahkan tuannya. Permukaan airnya kembali turun, apinya menghilang, dan akhirnya abu al-Hallaj terdiam.
Seorang figur yang terkenal pada masa itu berkisah bahwa dia telah berdoa semalam suntuk di bawah panggung eksekusi al-Hallaj. Dan menjelang pagi, dia mendengar sosok tak terlihat berkata, “Kami telah membagi satu rahasia Kami dan dia tidak menyimpannya. Sungguh inilah hukuman bagi mereka yang menceritakan rahasi-rahasia kami.
Sementara asy-Syibli menceritakan bahwa sehari kemudian dia melihat al-Hallaj di dalam mimpinya. Dia bertanya kepada al-Hallaj, “Bagaimana Tuhan akan menghukum orang-orang ini?” al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang mengetahui bahwa mereka benar dan mendukungnya. Mereka berbuat begitu demi Tuhan. Dan mereka yang ingin melihat dia mati adalah orang-orang yang buta akan kebenaran dan karenanya menginginkan dia mati, tetapi mereka juga berbuat begitu karena Tuhan. Jadi Tuhan akan mengampuni kedua kelompok tersebut; kedua kelompok tersebut akan diberkati.



Wassalam…
Demikian kisah sufi al-Hallaj dan insya Allah di lain waktu saya akan posting kisah para sufi lainnya.