SEJARAH SINGKAT SUFISME
Sufisme adalah
sebuah sistem spiritual yang telah mempengaruhi sebagian besar literatur dunia
dan telah menembus pelbagai ranah budaya, dari Eropa Selatan dan Eropa Timur
hingga Afrika Utara dan Afrika Tengah, dari Timur Tengah hingga ke wilayah
daratan Barat Cina. Dampak Sufisme terhadap budaya Islam dapat dengan mudah
dideteksi.desain pelbagai bangunan dan arsitektural secara umum, pola puisi dan
musik, serta efek-efek visual warna dan kaligrafi, semuanya berada dalam
wilayah pengaruh Sufi di Timur Tengah. Mungkin yang kurang begitu diketahui
adalah bahwa sebenarnya konsep-konsep seperti cinta romantis dan sifat-sifat
ksatria diadopsi oleh Barat ketika Eropa menjalin hubungan dengan para Sufi.
Lebih jauh, banyak hasil karya literature barat yang sebenarnya berakar pada
kisah-kisah sufi. Sebagai contoh, legenda Swiss tentang William Tell sebenarnya
ditulis berdasarkan kisah”Aththar” Mantik
ath-Thayr, dan seperti yang diakui sendiri oleh Carvantes, kisah Don Quixote besrumber pada sufi.
Kaum terpelajar
berselisih pendapat tentang asal mula kata Sufi.
Meskipun sebagian besar sepakat bahwa kata Sufi
berasal dari bahasa Arab, Shuf, yang artinya “wol”, dan merujuk pada invidu
yang mengenakan pakaian berbahan wol. Kisah legenda menyebutkan bahwa baik Nabi
Musa maupun Nabi ‘Isa mengenakan pakaian yang terbuat dari wol. Begitu juga
ketujuh puluh murid Nabi Muhammad SAW. Mengapa dipilih wol? Mungkin tidak ada
alasan khusus kecuali bahwa harga wol saat itu sangat murah. Meski demikian,
Karena wol kasar dan sangat tidak nyaman jika dikenakan langsung diatas kulit
yang telanjang, pemakaian pakain dari wol dapat berarti mewakili sikap
penolakan terhadap dunia materi dan kenyamanan fisik.
Kata Sufi dan sufisme (di dalam bahasa
umat Islam) baru dipakai setelah 150 tahun wafat Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya,
pelaksanaan ibadah yang ketat berdasarkan Hukum Ketuhanan (Syari’ah) dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencapai
keselamatan. Golongan mistik menghabiskan hidupnya untuk berpuasa dan berdo’a
di dalam kesenyapan, menjauhkan diri dari hiruk pikuk masyarakat. Mayoritas
dari mereka kelihatannya lebih memperhatikan api Neraka dan buah Syurgawi
ketimbang mendekati Tuhan. Meskipun ada guru- guru yang membantu dan menuntun,
konsep tarekat atau sekolah belum muncul pada saat itu.
Barulah sekiar
800-850 M, guru-guru spiritual biasa mencapai satu titik dimana mereka mulai
menganjurkan amalan-amalan untuk mencapai keselamatan, amalan-amalan yang
berbeda dengan peribadatan yang ditemukan oleh Syari’ah.amalan-amalan baru ini pada umunya menyertakan zikir
(benar-benar “mengingat”, yang merupakan lantunan asma Allah dan sifat-sifat-Nya),
serta berpartisipasi didalam irama pertemuan rutin dan aktivitas-aktivitas,
baik aktivitas diseputar hukum-hukum religius maupun pelaksanaannya. Guru-guru
di zaman ini (dan beberapa lagi yang datang kemudian) berpendapat bahwa
pelajaran Syari’ah sebagai dasar
pendidikan yang diterima di sekolah diperlukan untuk setiap individu yang akan
memasuki universitas pendidikan spiritual yang lebih tinggi. Pendidikan skunder
ini disebut Thariqah (jalan). Umumnya
Thariqah diyakini sebagai suatu
tingkatan yang menghubungkan Syar’iah dan
Haqiqah (kebenaran dan pencerahan),
dan bahwa Syari’ah diyakini belumlah
cukup untuk membekali orang sehingga orang tersebut menyadari kebenaran.
Selama periode
ini, hingga sekitar 1450 M. dapat dianggap sebagai tahun-tahun emas sufisme.
Perhatikan bahwa penekanan peribadatan sudah betul-betul beralih dari ketakutan
mengahadapi api neraka dan menginginkan buah syurgawi menjadi proses pencapaian
menuju Allah. Selama tahun-tahun inilah tokoh-tokoh besar seperti Ibn ‘Arabi,
Aththar, Rumi, Syah Ni’matullah Wali, dan yang lainnya terlahir. Di akhir era
ini, ada dua konsep yang sudah terbentuk dengan baik. Konsep yang pertama
adalah menyangkut prinsip-prinhsip yang berkenaan dengan pandangan kaum sufi
terhadap dunia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kesatuan Wujud (Wahdah al-wujud), Ibn ‘Arabi merupakan
guru pertama yang mengajarkan konsep ini kepada murid-muridnya. Konsep yang
kedua adalah ide tentang rantai atau tarekat para guru sufi (silsilah).
Menurut Konsep
Kesatuan Wujud, eksistensi, termasuk apa yang kita sebut sebagai kosmos, adalah
manifestasi dari sifat-sifat Allah dan eksistensi yang demikian itu tidaklah
terpisah dari-Nya. Rantai atau tarekat guru-guru sufi menyediakan bantuan
bantuan dan tuntunan bagi keinginan si pencari untuk mencapai Allah. Sebagian
besar tarekat sufisme meraih eksistensinya di masa sekarang ini, terutama
cabang-cabang dari rantai utama yang bila dirunut akan tiba pada ajaran
al-Hasan al-Bashri (yang diberi pelajaran dan diinisiasi oleh ‘Ali, keponakan
sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW.)
Penggolongan
para guru sufi tersebut tidak dimaksudkan agar mereka saling berkompetisi. Seorang
murid akan menerima hak untuk menginisiasi dan menuntun murid lainnya dan
kemudian diperintahkan hijrah ke kota yang berbeda dan membangun satu pusat
pendidikan di kota tersebut. Seringkali, setelah beberapa generasi, pusat
pendidikan tersebut berkembang menjadi tarekat yang baru atau mungkin
orang-orang di daerah tersebut tidak lagi berminat sehingga pusat pendidikan
tersebut ditutup.
Karena semua
orang dapat mengklaim dirinya sebagai seorang guru sufi, maka setiap pusat
pendidikan sufi harus mampu menemukan garis silsilahnya. Banyak pusat
pendidikan Sufi yang jika diikuti jejak garis silsilahnya akan sampai pada
‘Ali. Dan bila dirunut lagi, ‘ Ali diinisiasi Muhammad. Sesungguhnya ada
tradisi Muslim yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW. Diangkat ke surga dan
diberi selembar khirqah (jubah), dan
jubah itu diberika kepada ‘Ali sebagai indikasi bahwa ‘Ali diizinkan untuk
menuntun dan mengajari umat tentang jalan spiritual. Pada gilirannya, ‘Ali
memberikan otoritas yang sama kepada keempat muridnya yaitu : al-Hasan dan
al-Husayn (dua orang putranya), Kumayl dan al-Hasan al-Basri. Di dalam Sufisme
klasik, keempat orang ini disebut sebagai Empat Mahaguru. Sebagian besar
legitimasi tarekat Sufisme berasal dari salah satu keempat Mahaguru ini.
Tarekat yang ditumbuhkan oleh al-Hasan al-Bashri disebut sebagai Tarekat Primer
karena mayoritas rantai guru lainnya berasal dari tarekat tersebut.
Yang menarik, kaum sufi
menganggap sebagian besar figur-figur dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru sebagai
mahaguru mereka. Rumi misalnya, telah memberikan ajaran-ajaran yang diberikan
oleh Ibrahim, Musa (Moses), Sulayman (Solomon), Isa (Jesus),dan yang lainnya.
Figur-figur tersebut dianggap sebagai manusia yang sempurna yang memiliki
karakteristik dan kualitas ketuhanan. Semua figure tersebut mendasari ajarannya
dengan ”plat-form” tertentu. Sebagai contoh, sebelum zaman ‘Isa figure-figur
spiritual menuntun dan membantu umat dengan platform
spiritual yang dibawah oleh Musa. Dengan datangnya ‘Isa platform ini berubah menjadi Kristen. Adalah hal yang sangat
mengejutkan bila mayoritas guru sufi sekarang ini meyakini bahwa untuk
mengikuti jalan sufi kita harus terlebih dulu menjadi penganut agama Islam, platform yang dibawah oleh Muhammad.
Padahal jelas, ketika seorang mencapai tujuannya, jalan yang telah diambil
tersebut sudah tidak relevan lagi.
Untuk para
pembaca yang berasal dari Barat, kata Islam
mungkin memerlukan definisi. Kata Islam berasal dari bahasa arab yang artinya “pasrah”
(to surrender). Oleh karena itu kata Islam menunjuk pada sebuah tindakan yang
menyerahkan diri kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Sayangnya, sebagai akibat dari
terjadinya pelbagai peristiwa di beberapa Negara Timur Tengah, kaum Barat
mengasosiasikan kata Islam dan Muslim dengan pundamentalis, keras
kepala dan kekerasan. Adalah hal yang sangat menyedihkan apabila
stereotip-stereotip semacam itu menghalangi seseorang untuk mengapresiasi jalan
spiritual murni, yaitu sufisme.
Sebenarnya,
bukan hal yang sulit untuk memberikan ulasan singkat mengenai sejarah dan
perkembangan jalan pencerahan manapun. Tetapi begitu kita mulai membahas jalan
itu sendiri, kata-kata tidaklah mencukupi. Rumi mengatakan. “ketika tiba
saatnya untuk menuliskan tentang cinta, pena akan patah dan kertas akan sobek.”
Seperti halnya jalan spiritual lainnya, sufisme bersifat pengalaman. Sufisme
adalah suatu jalan menuju Tuhan melalui
gerbang hati yang digerakkan oleh kendaraan Cinta. Oleh karena itu, untuk
memahami sufisme diperlukan bahasa hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar