Laman

Selasa, 13 Agustus 2013

SEJARAH SINGKAT SUFISME

SEJARAH SINGKAT SUFISME



Sufisme adalah sebuah sistem spiritual yang telah mempengaruhi sebagian besar literatur dunia dan telah menembus pelbagai ranah budaya, dari Eropa Selatan dan Eropa Timur hingga Afrika Utara dan Afrika Tengah, dari Timur Tengah hingga ke wilayah daratan Barat Cina. Dampak Sufisme terhadap budaya Islam dapat dengan mudah dideteksi.desain pelbagai bangunan dan arsitektural secara umum, pola puisi dan musik, serta efek-efek visual warna dan kaligrafi, semuanya berada dalam wilayah pengaruh Sufi di Timur Tengah. Mungkin yang kurang begitu diketahui adalah bahwa sebenarnya konsep-konsep seperti cinta romantis dan sifat-sifat ksatria diadopsi oleh Barat ketika Eropa menjalin hubungan dengan para Sufi. Lebih jauh, banyak hasil karya literature barat yang sebenarnya berakar pada kisah-kisah sufi. Sebagai contoh, legenda Swiss tentang William Tell sebenarnya ditulis berdasarkan kisah”Aththar” Mantik ath-Thayr, dan seperti yang diakui sendiri oleh Carvantes, kisah Don Quixote besrumber pada sufi.
Kaum terpelajar berselisih pendapat tentang asal mula kata Sufi. Meskipun sebagian besar sepakat bahwa kata Sufi berasal dari bahasa Arab, Shuf, yang artinya “wol”, dan merujuk pada invidu yang mengenakan pakaian berbahan wol. Kisah legenda menyebutkan bahwa baik Nabi Musa maupun Nabi ‘Isa mengenakan pakaian yang terbuat dari wol. Begitu juga ketujuh puluh murid Nabi Muhammad SAW. Mengapa dipilih wol? Mungkin tidak ada alasan khusus kecuali bahwa harga wol saat itu sangat murah. Meski demikian, Karena wol kasar dan sangat tidak nyaman jika dikenakan langsung diatas kulit yang telanjang, pemakaian pakain dari wol dapat berarti mewakili sikap penolakan terhadap dunia materi dan kenyamanan fisik.
Kata Sufi dan sufisme  (di dalam bahasa umat Islam) baru dipakai setelah 150 tahun wafat Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pelaksanaan ibadah yang ketat berdasarkan Hukum Ketuhanan (Syari’ah) dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencapai keselamatan. Golongan mistik menghabiskan hidupnya untuk berpuasa dan berdo’a di dalam kesenyapan, menjauhkan diri dari hiruk pikuk masyarakat. Mayoritas dari mereka kelihatannya lebih memperhatikan api Neraka dan buah Syurgawi ketimbang mendekati Tuhan. Meskipun ada guru- guru yang membantu dan menuntun, konsep tarekat atau sekolah belum muncul pada saat itu.
Barulah sekiar 800-850 M, guru-guru spiritual biasa mencapai satu titik dimana mereka mulai menganjurkan amalan-amalan untuk mencapai keselamatan, amalan-amalan yang berbeda dengan peribadatan yang ditemukan oleh Syari’ah.amalan-amalan baru ini pada umunya menyertakan zikir (benar-benar “mengingat”, yang merupakan lantunan asma Allah dan sifat-sifat-Nya), serta berpartisipasi didalam irama pertemuan rutin dan aktivitas-aktivitas, baik aktivitas diseputar hukum-hukum religius maupun pelaksanaannya. Guru-guru di zaman ini (dan beberapa lagi yang datang kemudian) berpendapat bahwa pelajaran Syari’ah sebagai dasar pendidikan yang diterima di sekolah diperlukan untuk setiap individu yang akan memasuki universitas pendidikan spiritual yang lebih tinggi. Pendidikan skunder ini disebut Thariqah (jalan). Umumnya Thariqah diyakini sebagai suatu tingkatan yang menghubungkan Syar’iah dan Haqiqah (kebenaran dan pencerahan), dan bahwa Syari’ah diyakini belumlah cukup untuk membekali orang sehingga orang tersebut menyadari kebenaran.
Selama periode ini, hingga sekitar 1450 M. dapat dianggap sebagai tahun-tahun emas sufisme. Perhatikan bahwa penekanan peribadatan sudah betul-betul beralih dari ketakutan mengahadapi api neraka dan menginginkan buah syurgawi menjadi proses pencapaian menuju Allah. Selama tahun-tahun inilah tokoh-tokoh besar seperti Ibn ‘Arabi, Aththar, Rumi, Syah Ni’matullah Wali, dan yang lainnya terlahir. Di akhir era ini, ada dua konsep yang sudah terbentuk dengan baik. Konsep yang pertama adalah menyangkut prinsip-prinhsip yang berkenaan dengan pandangan kaum sufi terhadap dunia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kesatuan Wujud (Wahdah al-wujud), Ibn ‘Arabi merupakan guru pertama yang mengajarkan konsep ini kepada murid-muridnya. Konsep yang kedua adalah ide tentang rantai atau tarekat para guru sufi (silsilah).
Menurut Konsep Kesatuan Wujud, eksistensi, termasuk apa yang kita sebut sebagai kosmos, adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah dan eksistensi yang demikian itu tidaklah terpisah dari-Nya. Rantai atau tarekat guru-guru sufi menyediakan bantuan bantuan dan tuntunan bagi keinginan si pencari untuk mencapai Allah. Sebagian besar tarekat sufisme meraih eksistensinya di masa sekarang ini, terutama cabang-cabang dari rantai utama yang bila dirunut akan tiba pada ajaran al-Hasan al-Bashri (yang diberi pelajaran dan diinisiasi oleh ‘Ali, keponakan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW.)
Penggolongan para guru sufi tersebut tidak dimaksudkan agar mereka saling berkompetisi. Seorang murid akan menerima hak untuk menginisiasi dan menuntun murid lainnya dan kemudian diperintahkan hijrah ke kota yang berbeda dan membangun satu pusat pendidikan di kota tersebut. Seringkali, setelah beberapa generasi, pusat pendidikan tersebut berkembang menjadi tarekat yang baru atau mungkin orang-orang di daerah tersebut tidak lagi berminat sehingga pusat pendidikan tersebut ditutup.
Karena semua orang dapat mengklaim dirinya sebagai seorang guru sufi, maka setiap pusat pendidikan sufi harus mampu menemukan garis silsilahnya. Banyak pusat pendidikan Sufi yang jika diikuti jejak garis silsilahnya akan sampai pada ‘Ali. Dan bila dirunut lagi, ‘ Ali diinisiasi Muhammad. Sesungguhnya ada tradisi Muslim yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW. Diangkat ke surga dan diberi selembar khirqah (jubah), dan jubah itu diberika kepada ‘Ali sebagai indikasi bahwa ‘Ali diizinkan untuk menuntun dan mengajari umat tentang jalan spiritual. Pada gilirannya, ‘Ali memberikan otoritas yang sama kepada keempat muridnya yaitu : al-Hasan dan al-Husayn (dua orang putranya), Kumayl dan al-Hasan al-Basri. Di dalam Sufisme klasik, keempat orang ini disebut sebagai Empat Mahaguru. Sebagian besar legitimasi tarekat Sufisme berasal dari salah satu keempat Mahaguru ini. Tarekat yang ditumbuhkan oleh al-Hasan al-Bashri disebut sebagai Tarekat Primer karena mayoritas rantai guru lainnya berasal dari tarekat tersebut.
Yang menarik, kaum sufi menganggap sebagian besar figur-figur dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai mahaguru mereka. Rumi misalnya, telah memberikan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Ibrahim, Musa (Moses), Sulayman (Solomon), Isa (Jesus),dan yang lainnya. Figur-figur tersebut dianggap sebagai manusia yang sempurna yang memiliki karakteristik dan kualitas ketuhanan. Semua figure tersebut mendasari ajarannya dengan ”plat-form” tertentu. Sebagai contoh, sebelum zaman ‘Isa figure-figur spiritual menuntun dan membantu umat dengan platform spiritual yang dibawah oleh Musa. Dengan datangnya ‘Isa platform ini berubah menjadi Kristen. Adalah hal yang sangat mengejutkan bila mayoritas guru sufi sekarang ini meyakini bahwa untuk mengikuti jalan sufi kita harus terlebih dulu menjadi penganut agama Islam, platform yang dibawah oleh Muhammad. Padahal jelas, ketika seorang mencapai tujuannya, jalan yang telah diambil tersebut sudah tidak relevan lagi.
Untuk para pembaca yang berasal dari Barat, kata Islam mungkin memerlukan definisi. Kata Islam  berasal dari bahasa arab yang artinya “pasrah” (to surrender). Oleh karena itu kata Islam menunjuk pada sebuah tindakan yang menyerahkan diri kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Sayangnya, sebagai akibat dari terjadinya pelbagai peristiwa di beberapa Negara Timur Tengah, kaum Barat mengasosiasikan kata Islam dan Muslim dengan pundamentalis, keras kepala dan kekerasan. Adalah hal yang sangat menyedihkan apabila stereotip-stereotip semacam itu menghalangi seseorang untuk mengapresiasi jalan spiritual murni, yaitu sufisme.
Sebenarnya, bukan hal yang sulit untuk memberikan ulasan singkat mengenai sejarah dan perkembangan jalan pencerahan manapun. Tetapi begitu kita mulai membahas jalan itu sendiri, kata-kata tidaklah mencukupi. Rumi mengatakan. “ketika tiba saatnya untuk menuliskan tentang cinta, pena akan patah dan kertas akan sobek.” Seperti halnya jalan spiritual lainnya, sufisme bersifat pengalaman. Sufisme adalah suatu jalan menuju Tuhan melalui gerbang hati yang digerakkan oleh kendaraan Cinta. Oleh karena itu, untuk memahami sufisme diperlukan bahasa hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar