Laman

Sabtu, 10 Agustus 2013

AL-HALLAJ MARTIR PERTAMA SUFISME

AL-HALLAJ

MARTIR PERTAMA SUFISME



Boleh dikata, Al-Husayn Ibn Manshur al-Hallaj adalah sufi yang paling terkemuka di abad 9 dan 10 M. (abad 3 dan 4 H.). salah satu kata yang membuatnya tenar adalah “Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran)”, dan ia harus menuai akibat dari ucapan itu: dia dihukum mati secara kejam. Bagi ulama-ulama salaf ortodoks, kalimat al-Hallaj yang mematikan tersebut dianggap bid’ah, karena Islam eksoteris tidak dapat menerima kenyataan bahwa seorang manusia dapat menjadi satu dengan Allah__dan disebabkan kebenaran adalah salah satu dari sifat Allah, maka al-Hallaj dianggap telah menyatakan bahwa dialah Tuhan. Rekan-rekan sejawat al-Hallaj juga terkejut dengan pernyataan itu karena mereka meyakini bahwa seorang sufi seharusnya tidak pernah mengungkapkan pengalaman pribadinya kepada orang lain.Mereka merasa bahwa al-Hallaj tidak memiliki kapasitas untuk menyembunyikan misteri-misteri yang bersifat ketuhanan. Dan begitulah, hukuman mati yang dijatuhkan kepada al-Hallaj adalah hasil dari kemurkaan Tuhan karena ia telah berani secara terbuka mengungkapkan rahasia tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak memiliki banyak pengikut pada saat itu, hampir semua guru sufi yang muncul kemudian memuji dirinya dan menghargai ajaran yang dia berikan.’Aththar, didalam risalahnya yang berjudul Tadzkirah al-Awliya’(riwayat Para Wali), telah member kita sejumlah legenda di seputar al-Hallaj yang dilengkapi komentar, “Saya heran, karena kita dapat menerima kenyataan sebah semak yang hangus terbakar (merujuk pada percakapan Allah dengan Nabi Musa) mengatakan ‘Akulah Tuhan’ dan dengan sungguh-sungguh meyakini kata-katanya sebagai kata-kata Tuhan Yang Maha Agung, tetapi mengapa kita tidak bisa menerima al-Hallaj mengatakan hal yang sama:’Akulah Kebenaran’ dan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata dari Tuhan sendiri!” Di dalam Diwan populernya yang berjudul Matsnawi, Rumi berkata,”Akulah Kebenaran” tak lain ialah sinar cahaya kehambaan yang menyatu yang memancar pada bibir Manshur, sedangkan kata-kata ‘Akulah Tuhan’ yang datang dari Fir’aun ialah tirani keangkuhan.
Untuk mengenal al-Hallaj lebih jauh dan memahami apa yang telah membuatnya mengeluarkan pernyataan yang terkenal tersebut, kita perlu sedikit mengetahui sepenggalan perjalanan hidupnya. Perlu ditekankan bahwa al-Hallaj sekedar sebuah karakter historis; dia juga merupakan sebuah legenda. Cerita-cerita tentang al-Hallaj telah membuatnya tetap hidup hingga sekarang ini. Sebagian mengutuknya, namun sebagian lagi memujinya habis. ‘Aththar telah mempersembahkan bab terakhir Tadzkirah al-Awliya’-nya untuk al-Hallaj, dan terjemahan sebagai karya tulis ‘Aththar tentang al-Hallaj tersebut akan disajikan kemudian masih didalam bab ini.



KEHIDUPAN AL-HALLAJ
Al-Hallaj dilahirkan di kota Thur di wilayah Bayda, Iran bagian Tenggara, pada 866 M. Berlawanan dengan yang diyakini orang kebanyakan, al-Hallaj bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah pemeluk Majusi, dan ayahnya lah yang kemudian berpindah agama menjadi pemeluk Islam.
Ketika al-Hallaj masih bayi, ayahnya yang bekerja menenun katun dan wol, sering bepergian pulang-pergi ke kota Bayda, Wasith, sebuah kota kecil di dekat Ahwaz, dan Tustar. Mengingat pusat-pusat Tekstil di masa itu, kota-kota tersebut berlokasi di perbatasan barat Iran, berdekatan dengan kota-kota penting seperti Baghdad, Bashrah, dan Kufah. Pada saat itu, orang Arab mendominasi wilayah Thur, dan kepindahan keluarganya ke wilayah orang Arab tersebut telah mempengaruhi al-Hallaj.
Pada umur yang masih sangat belia, al-Hallaj sudah mempelajari tata bahasa Arab, menghafal alqur’an dan penjelasannya, serta mempelajari teologi. Di usia 16, al-Hallaj telah menyelesaikan pendidikannya, tetapi dia merasa perlu mendalami lebih jauh apa yang sudah dipelajarinya. Salah seorang pamannya bercerita tentang Sahl, seorang sufi yang cakap dan mandiri, yang menurut pamannya telah menumbuhkan jiwa sejati Islam. Sahl adalah seorang mistikus di lingkungan spiritual yang tinggi, yang termashur karena tafsir Alqurannya. Sahl menjalankan peribadahan yang ketat dari sunah Nabi dan melakukan amalan-amalan asketis seperti puasa yang berlebih-lebihan dan bersembahyang sebanyak minimal empat ratus rakaat sehari. Atas saran pamannya, al-Hallaj pindah ke Tustar dan memasuki lingkungan mistis ini.
Dua tahun kemudian, tiba-tiba saja al-Hallaj berpisah dari Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas apa alasannya dia berbuat begitu (Massignon menghubungkan kepindahannya ini dengan relasi politis al-Hallaj). Perpisahannya dengan Sahl maupun kepindahannya ke Bashrah tidak memiliki keterkaitan dengan pola pelatihan yang ditekuni al-Hallaj bersama Sahl. Tampaknya al-Hallaj tidak dianggap sebagai seorang murid khusus yang penting, ataupun menerima bentuk khusus latihan maupun perintah tertentu dari gurunya. Tetapi ini bukan berarti sahl tidak berpengaruh terhadap al-Hallaj, jika melihat amalan-amalan asketis al-Hallaj yang keras ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M. dia sudah mencapai tingkat asketisme yang tinggi. Di Bashrah, al-Hallaj betemu dengan Abu ‘Amr al-Makki, yang secara formal mengenalkan al-Hallaj dengan sufisme. Abu Amr merupakan murid al-Junayd, sufi yang paling tenar namanya saat itu.
Al-Hallaj menghabiskan waktu selam 18 bulan bersama Abu ‘Amr, dan akhirnya al-Hallaj juga “bercerai” dengan Abu ‘Amr. Rupanya, teman dekat Abu ‘Amr yang bernama al-Aqhta’, yang juga murid al-Junayd, mengenali kapasitas spiritual al-Hallaj dan menyarankan al-Hallaj agar menikahi putrinya. Massignon menyatakan bahwa pernikahan tersebut mungkin juga memiliki dasar politis karena hubungan kekerabatan al-Aqtha’. Bagaimanapun juga, Abu ‘Amr tidak diajak berunding ihwal masalah ini. Hal tersebut menimbulkan rasa permusuhan dan tidak hanya menyebabkan retaknya persahabatan antara Abu ‘Amr dan al-Aqtha’, tetapi juga membahayakan hubungan guru-murid antara Abu ‘Amr dengan al-Hallaj.
Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan tuntunan untuk mengatasi situasi tersebut, pergi ke Baghdad dan menghabiskan waktu bersama al-Junayd --- yang memberikan nasihat agar al-Hallaj tetap bersabar. Bagi al-Hallaj, nasihat itu diartikan sebagai usaha menjauh dari Abu ‘Amr dan hidup tenang bersama keluarganya. Setelah dirasa mantap, pulanglah ia ke kota asalnya. Kepulangan ini menimbulkan spekulasi bahwa kemudian dia menerima instruksi dari al-Junayd melalui surat sehingga dia melanjutkan amalan-amalan asketisnya.
Enam tahun kemudian, pada 892, al-Hallaj memutuskan untuk berangkat haji ke Mekkah. Seluruh muslim diminta menjalankan perjalanan ini setidaknya sekali seumur hidup bila mampu. Bagaimanapun, haji al-Hallaj bukanlah menunaikan ibadah haji biasa lazimnya yang ditetuntkan, melainkan ibadah haji yang menghabiskan waktu selama satu tahun penuh dan setiap hari diisi dengan puasa. Tujuan al-Hallaj memilih ibadah semacam ini adalah untuk memurnikan hatinya --- memasrahkan diri hingga tahapan di mana Allah akan sepenuhnya melingkupi dirinya. Dia pulang denga banyak pemikiran baru mengenai topi-topik seperti inspirasi ketuhanan, dan dia lantas membentur-benturkan pemikiran-pemikirannya itu dengan sufi-sufi lainnya, sebut saja Abu ‘Amr al-Makki dan al-Junayd. Tak lama kemudian Abu ‘Amr berubah total menentangnya. ‘aththar menyatakan bahwa al-Hallaj datang kepada al-Junayd untuk kedua kalinya, dan bertanya tentang apakah semestinya kaum mistik mengmbil tindakan atau tidak untuk memperbaiki kondisi umat (al-Hallaj berpendapat bahwa seharusnya itu dilakukan, sedangkan al-Junayd menganut sikap acuh tak acuh terhadap keadaan yang tidak abadi yang disebut kehidupan). Al-Junayd tidak menjawab, dan dia membuat al-Hallaj marah lalu meninggalkan al-Junayd. Di kemudian hari, kata-kata al-Junayd akan menentukan nasib al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, dia mulai berkhotbah dan menarik sejumlah besar orang yang kemudian menjadi muridnya. Sayangnya pemikiran-pemikirannya berjalan berlawanan haluan dengan mertuanya. Akibatnya sudah bisa diduga, hubungan mereka memburuk. Puncaknya, al-Hallaj tidak lagi diakui menantu oleh mertuanya. Dia kembali ke Tustar bersama isteri dan saudara ipar laki-lakinya yang masih setia kepadanya. Di Tustar dia terus berkhotbah dan meraih kesuksesan yang besar. Tetapi, Abu ‘Amr al-Makki yang belum melupakan konflik diantara mereka, mengirimkan surat tuduhan kepada orang-orang terkenal yang ada di Ahwaz, dan ini petaka bagi nama baik al-Hallaj. Situasi betambah parah sehingga al-Hallaj memutuskan untuk mengucilkan diri dari kaum sufi dan sebagai gantinya dia beteman dengan golongan yang bukan sufi.
Al-Hallaj menanggalkan pakaian sufinya selama beberapa tahun namun tetap meneruskan upayanya mencari Allah. Pada tahun 899 M. dia melakukan perjalanan kerasulan (apostolik) pertamanya ke perbatasan timur laut Iran, kemudian ke arah selatan dan akhirnya menuju Ahwaz pada 902 M. dalam perjalanan ini, dia bertemu dengan guru-guru spiritual dari pelbagai tradisi---diantaranya dari Majusi dan Manicheisme. Dia juga menjadi akrab dengan pelbagai Terminologi yang mereka gunakan, dan dia memakai terminologi-terminologi tersebut.di dalam karyanya kemudian. Ketika dia tiba kembali di Tustar, dia melanjutkan kembali khotbahnya. Dia memberikan wejangan tentang rahasia alam semesta dan membicarakan apa yang disimpan di dalam hati para pendengar khotbahnya. Oleh karena itu dia mendapat julukan Hallaj al-asrar (kata asrar dapat berarti “ pemintal kapas”, maka Hallaj al-Asrar berarti pemintal kelembutan di kedalaman hati). Dia menarik minat banyak orang yang lantas menjadi pengikutnya. Tetapi kata-katanya yang tidak lazim menakutkan sebagian kelompok ulama sehingga al-Hallaj diumumkan sebagai seorang klenik yang berbahaya bagi akidah.
Setahun kemudian, al-Hallaj menunaikan ibadah hajinya yang kedua, dan kali ini dia berangkat sebagai seorang guru yang memiliki 400 orang murid. Ada bebrapa legenda yang menceritakan perjalanan al-Hallaj ini, yang juga menyinggung kemampuannya yang menakjubkan dan magis (sebagian akan di muat didalam bab ini nanti). Kisah-kisah tersebut membuahkan reputasi al-Hallaj tentang kemampuannya untuk berkomunikasi dengan jin, mahluk halus yang memiliki kaki mengembang dan wajah seperti kambing. Setelah menempuh perjalanan ini, al-Hallaj memutuskan untuk meninggalkan Tustar dan tinggal di Baghdad yang juga menjadi kediaman sekelompok sufi lainnya. Dia bersahabat dengan mereka semua, diantaranya dengan an-Nuri dan asy-Syibli.
Pada 906 M. al-Hallaj memutuskan untuk menjalankan tugasnya mengubah orang-orang Turki dan non-Muslim. Dia berlayar ke India Barat, kemudia kembali ke Baghdad. Perjalanan ini memakan waktu 6 tahun dan memberinya kemasyhuran yang luar biasa. Kemanapun dia pergi, ia selalu disambut dan pengikutnya kian bertambah banyak.
Tahu 913 M. merupakan titik balik bagi kerja spiritualnya. Di tahun inilah dia kembali berangkat haji ke Mekkah. Kali ini dia menghabiskan waktu selama 2 tahun dan berakhir dengan sebuah kesadaran tentang kebenaran. Di akhir 913 M, al-Hallaj merasa selubung ilusinya terangkat, dan menampakan wajah kebanaran. Pada saat itulah dia berucap, “Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran),”dengan nada yang meluapkan kegembiraan yang sangat. Temuan ini membangkitkan gairahnya untuk menyaksikan cinta Illahi bagi kemanusiaan dengan cara menjadi “domba korban”. Dia akan dihukum, tidak saja demi menaggung dosa kaum Muslimin, tetapi juga dosa-dosa yang telah dilakukan oleh seluruh umat manusia. Dia menjadi orang Muslimin-Kristen. Sesungguhnya dia telah mencari tiang gantungan.
Di jalan-jalan Baghdad, di pasar dan di Mesjid, terdengar seruan al-Hallaj yang aneh: Hei, Muslim semuanya, tolonglah aku! Selamatkan aku dari dia! Oh umat sekalian, dia telah izinkan kalian untuk mencucurkan darahku --- bunuh lah aku. Aku mau keparat ini ( sambil menunjuk dirinya sendiri) dibunuh.” Lalu al-Hallaj menengadah, berpaling kepada Allah dan berkata,” ampuni semua-mua mereka, hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Anehnya, kata-kata al-Hallaj tersebut telah menginsfirasi orang-orang yang mendengarnya untuk mencari perubahan di dalam kehidupan dan di dalam komunitas mereka. Lingkungan sosial politik pada saat itu telah melahirkan banyak totolan kekecewaan, baik di dalam komunitas masyarakat maupun di pihak penguasa. Banyak orang yang kemudian menyampaikan saran agar Khalifah menegakkan kewajiban-kewajiban yang dilimpahkan oleh Islam dan Allah di pundaknya. Sementara yang lainnya berusaha mencari perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat itu sendiri.
Tiada guna berkata-kata, al-Hallaj diseret keluar masuk pengadilan Khalifah bersama kawan dan lawannya, para pemimpin oposisi, sebagian dari mereka adalah murid al-Hallaj, menganggap al-Hallaj sebagai sosok Imam Mahdi, dan dengan harapan dapat memperoleh kekuasaan, mereka mencoba memanfaatkan pengaruh al-Hallaj untuk menciptakan huru-hara. Sementara itu para pendukung al-Hallaj diperintahkan berupaya melindunginya agar dia dapat membantu pemerintah untuk melakukan reformasi sosial. Dengan itu semua, terjadilah keadaan yang sangat kacau, dan tampaknya akhir yang dramatis yang tak bisa lagi dihindari.
Pada akhirnya, pilihan persekutuan al-Hallaj, bersama-sama dengan pandangan-pandangan agamanya, menempatkan al-Hallaj pada pihak yang salah. Sejak 918 M. dia terus diawasi, dan pada 923 M dia resmi ditahan. Penasihat Khalifah pada waktu itu adalah salah seorang sahabat al-Hallaj, dialah yang berusaha mencegah setiap usaha untuk membunuh al-Hallaj. Al-Hallaj tetap berada di dalam penjara hingga hampir 9 tahun lamanya. Selama itu al-Hallaj terperangkap di dalam perselisihan antara sahabat-sahabatnya dan musuh-musuhnya. Ketika terjadi serangkaian pemberontakan dan kudeta di Baghdad, al-Hallaj dan beberapa orang sahabatnya dituduh sebagai penghasut. Peristiwa ini memicu pertarungan kekuasaan yang sengit di ruang paseban pengadilan Khalifah. Akhirnya Wazir Khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj, berurusaha membujuk para petinggi lainnya dengan pelbagai cara dan pelbagai dalih. Kemudian, sebagai bentuk unjuk kekuatan terhadap lawan-lawannya, dia menjatuhkan hukuman mati kepada al-Hallaj dan memerintahkan agar al-Hallaj dieksekusi.
Tak lama kemudia al-Hallaj dicambuk di depan orang banyak, kemudian dipertontonkan di atas tiang gantungan dengan keadaaan tangan dan kaki yang sudah tersate. Baru pada keesokan harinya dilakukan hukuman pancung, disaksikan langsung oleh wazir yang hadir untuk mengumumkan hukuman tersebut. Setelah itu, sisa tubuh al-Halaj direbus dengan minyka lalu dibakar. Abunya lalu dibawa ke sebuah menara yang ada di pesisir Tigris, dimana angin membawa abu itu ke atas muara dan lautan.
Al-Hallaj mati dengan cara yang paling brutal, tetapi dia tetap hidup abadi di dalam hati mereka yang merindukan apa yang sudah diraih al-Hallaj secara spiritual. Dengan caranya sendiri dia telah memperlihatkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh setiap pencari kebenaran sebagai seorang kekasih yang coba meraih Sang Terkasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar