AL-HALLAJ
MARTIR PERTAMA SUFISME
Boleh dikata, Al-Husayn
Ibn Manshur al-Hallaj adalah sufi yang paling terkemuka di abad 9 dan 10 M.
(abad 3 dan 4 H.). salah satu kata yang membuatnya tenar adalah “Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran)”, dan ia
harus menuai akibat dari ucapan itu: dia dihukum mati secara kejam. Bagi
ulama-ulama salaf ortodoks, kalimat al-Hallaj yang mematikan tersebut dianggap
bid’ah, karena Islam eksoteris tidak dapat menerima kenyataan bahwa seorang
manusia dapat menjadi satu dengan Allah__dan disebabkan kebenaran adalah salah
satu dari sifat Allah, maka al-Hallaj dianggap telah menyatakan bahwa dialah
Tuhan. Rekan-rekan sejawat al-Hallaj juga terkejut dengan pernyataan itu karena
mereka meyakini bahwa seorang sufi seharusnya tidak pernah mengungkapkan
pengalaman pribadinya kepada orang lain.Mereka merasa bahwa al-Hallaj tidak
memiliki kapasitas untuk menyembunyikan misteri-misteri yang bersifat
ketuhanan. Dan begitulah, hukuman mati yang dijatuhkan kepada al-Hallaj adalah hasil
dari kemurkaan Tuhan karena ia telah berani secara terbuka mengungkapkan
rahasia tersebut.
Meskipun al-Hallaj
tidak memiliki banyak pengikut pada saat itu, hampir semua guru sufi yang
muncul kemudian memuji dirinya dan menghargai ajaran yang dia berikan.’Aththar,
didalam risalahnya yang berjudul Tadzkirah
al-Awliya’(riwayat Para Wali),
telah member kita sejumlah legenda di seputar al-Hallaj yang dilengkapi
komentar, “Saya heran, karena kita dapat menerima kenyataan sebah semak yang
hangus terbakar (merujuk pada percakapan Allah dengan Nabi Musa) mengatakan
‘Akulah Tuhan’ dan dengan sungguh-sungguh meyakini kata-katanya sebagai
kata-kata Tuhan Yang Maha Agung, tetapi mengapa kita tidak bisa menerima
al-Hallaj mengatakan hal yang sama:’Akulah Kebenaran’ dan bahwa kata-kata
tersebut adalah kata-kata dari Tuhan sendiri!” Di dalam Diwan populernya yang berjudul Matsnawi,
Rumi berkata,”Akulah Kebenaran”
tak lain ialah sinar cahaya kehambaan yang menyatu yang memancar pada bibir
Manshur, sedangkan kata-kata ‘Akulah Tuhan’ yang datang dari Fir’aun ialah
tirani keangkuhan.
Untuk mengenal
al-Hallaj lebih jauh dan memahami apa yang telah membuatnya mengeluarkan
pernyataan yang terkenal tersebut, kita perlu sedikit mengetahui sepenggalan
perjalanan hidupnya. Perlu ditekankan bahwa al-Hallaj sekedar sebuah karakter
historis; dia juga merupakan sebuah legenda. Cerita-cerita tentang al-Hallaj telah
membuatnya tetap hidup hingga sekarang ini. Sebagian mengutuknya, namun
sebagian lagi memujinya habis. ‘Aththar telah mempersembahkan bab terakhir Tadzkirah al-Awliya’-nya untuk
al-Hallaj, dan terjemahan sebagai karya tulis ‘Aththar tentang al-Hallaj
tersebut akan disajikan kemudian masih didalam bab ini.
KEHIDUPAN AL-HALLAJ
Al-Hallaj dilahirkan di
kota Thur di wilayah Bayda, Iran bagian Tenggara, pada 866 M. Berlawanan dengan
yang diyakini orang kebanyakan, al-Hallaj bukan orang Arab, melainkan keturunan
Persia. Kakeknya adalah pemeluk Majusi, dan ayahnya lah yang kemudian berpindah
agama menjadi pemeluk Islam.
Ketika al-Hallaj masih
bayi, ayahnya yang bekerja menenun katun dan wol, sering bepergian pulang-pergi
ke kota Bayda, Wasith, sebuah kota kecil di dekat Ahwaz, dan Tustar. Mengingat
pusat-pusat Tekstil di masa itu, kota-kota tersebut berlokasi di perbatasan
barat Iran, berdekatan dengan kota-kota penting seperti Baghdad, Bashrah, dan
Kufah. Pada saat itu, orang Arab mendominasi wilayah Thur, dan kepindahan
keluarganya ke wilayah orang Arab tersebut telah mempengaruhi al-Hallaj.
Pada umur yang masih
sangat belia, al-Hallaj sudah mempelajari tata bahasa Arab, menghafal alqur’an
dan penjelasannya, serta mempelajari teologi. Di usia 16, al-Hallaj telah
menyelesaikan pendidikannya, tetapi dia merasa perlu mendalami lebih jauh apa
yang sudah dipelajarinya. Salah seorang pamannya bercerita tentang Sahl,
seorang sufi yang cakap dan mandiri, yang menurut pamannya telah menumbuhkan
jiwa sejati Islam. Sahl adalah seorang mistikus di lingkungan spiritual yang
tinggi, yang termashur karena tafsir Alqurannya. Sahl menjalankan peribadahan
yang ketat dari sunah Nabi dan melakukan amalan-amalan asketis seperti puasa
yang berlebih-lebihan dan bersembahyang sebanyak minimal empat ratus rakaat
sehari. Atas saran pamannya, al-Hallaj pindah ke Tustar dan memasuki lingkungan
mistis ini.
Dua tahun kemudian,
tiba-tiba saja al-Hallaj berpisah dari Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas
apa alasannya dia berbuat begitu (Massignon menghubungkan kepindahannya ini
dengan relasi politis al-Hallaj). Perpisahannya dengan Sahl maupun
kepindahannya ke Bashrah tidak memiliki keterkaitan dengan pola pelatihan yang
ditekuni al-Hallaj bersama Sahl. Tampaknya al-Hallaj tidak dianggap sebagai
seorang murid khusus yang penting, ataupun menerima bentuk khusus latihan
maupun perintah tertentu dari gurunya. Tetapi ini bukan berarti sahl tidak
berpengaruh terhadap al-Hallaj, jika melihat amalan-amalan asketis al-Hallaj
yang keras ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M. dia sudah mencapai
tingkat asketisme yang tinggi. Di Bashrah, al-Hallaj betemu dengan Abu ‘Amr
al-Makki, yang secara formal mengenalkan al-Hallaj dengan sufisme. Abu Amr
merupakan murid al-Junayd, sufi yang paling tenar namanya saat itu.
Al-Hallaj menghabiskan
waktu selam 18 bulan bersama Abu ‘Amr, dan akhirnya al-Hallaj juga “bercerai”
dengan Abu ‘Amr. Rupanya, teman dekat Abu ‘Amr yang bernama al-Aqhta’, yang
juga murid al-Junayd, mengenali kapasitas spiritual al-Hallaj dan menyarankan
al-Hallaj agar menikahi putrinya. Massignon menyatakan bahwa pernikahan
tersebut mungkin juga memiliki dasar politis karena hubungan kekerabatan
al-Aqtha’. Bagaimanapun juga, Abu ‘Amr tidak diajak berunding ihwal masalah
ini. Hal tersebut menimbulkan rasa permusuhan dan tidak hanya menyebabkan
retaknya persahabatan antara Abu ‘Amr dan al-Aqtha’, tetapi juga membahayakan
hubungan guru-murid antara Abu ‘Amr dengan al-Hallaj.
Al-Hallaj yang merasa
memerlukan bantuan dan tuntunan untuk mengatasi situasi tersebut, pergi ke
Baghdad dan menghabiskan waktu bersama al-Junayd --- yang memberikan nasihat
agar al-Hallaj tetap bersabar. Bagi al-Hallaj, nasihat itu diartikan sebagai
usaha menjauh dari Abu ‘Amr dan hidup tenang bersama keluarganya. Setelah
dirasa mantap, pulanglah ia ke kota asalnya. Kepulangan ini menimbulkan spekulasi
bahwa kemudian dia menerima instruksi dari al-Junayd melalui surat sehingga dia
melanjutkan amalan-amalan asketisnya.
Enam tahun kemudian,
pada 892, al-Hallaj memutuskan untuk berangkat haji ke Mekkah. Seluruh muslim
diminta menjalankan perjalanan ini setidaknya sekali seumur hidup bila mampu.
Bagaimanapun, haji al-Hallaj bukanlah menunaikan ibadah haji biasa lazimnya
yang ditetuntkan, melainkan ibadah haji yang menghabiskan waktu selama satu
tahun penuh dan setiap hari diisi dengan puasa. Tujuan al-Hallaj memilih ibadah
semacam ini adalah untuk memurnikan hatinya --- memasrahkan diri hingga tahapan
di mana Allah akan sepenuhnya melingkupi dirinya. Dia pulang denga banyak
pemikiran baru mengenai topi-topik seperti inspirasi ketuhanan, dan dia lantas
membentur-benturkan pemikiran-pemikirannya itu dengan sufi-sufi lainnya, sebut
saja Abu ‘Amr al-Makki dan al-Junayd. Tak lama kemudian Abu ‘Amr berubah total
menentangnya. ‘aththar menyatakan bahwa al-Hallaj datang kepada al-Junayd untuk
kedua kalinya, dan bertanya tentang apakah semestinya kaum mistik mengmbil
tindakan atau tidak untuk memperbaiki kondisi umat (al-Hallaj berpendapat bahwa
seharusnya itu dilakukan, sedangkan al-Junayd menganut sikap acuh tak acuh
terhadap keadaan yang tidak abadi yang disebut kehidupan). Al-Junayd tidak
menjawab, dan dia membuat al-Hallaj marah lalu meninggalkan al-Junayd. Di
kemudian hari, kata-kata al-Junayd akan menentukan nasib al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj
kembali ke Bashrah, dia mulai berkhotbah dan menarik sejumlah besar orang yang
kemudian menjadi muridnya. Sayangnya pemikiran-pemikirannya berjalan berlawanan
haluan dengan mertuanya. Akibatnya sudah bisa diduga, hubungan mereka memburuk.
Puncaknya, al-Hallaj tidak lagi diakui menantu oleh mertuanya. Dia kembali ke
Tustar bersama isteri dan saudara ipar laki-lakinya yang masih setia kepadanya.
Di Tustar dia terus berkhotbah dan meraih kesuksesan yang besar. Tetapi, Abu
‘Amr al-Makki yang belum melupakan konflik diantara mereka, mengirimkan surat
tuduhan kepada orang-orang terkenal yang ada di Ahwaz, dan ini petaka bagi nama
baik al-Hallaj. Situasi betambah parah sehingga al-Hallaj memutuskan untuk
mengucilkan diri dari kaum sufi dan sebagai gantinya dia beteman dengan
golongan yang bukan sufi.
Al-Hallaj menanggalkan
pakaian sufinya selama beberapa tahun namun tetap meneruskan upayanya mencari
Allah. Pada tahun 899 M. dia melakukan perjalanan kerasulan (apostolik)
pertamanya ke perbatasan timur laut Iran, kemudian ke arah selatan dan akhirnya
menuju Ahwaz pada 902 M. dalam perjalanan ini, dia bertemu dengan guru-guru
spiritual dari pelbagai tradisi---diantaranya dari Majusi dan Manicheisme. Dia
juga menjadi akrab dengan pelbagai Terminologi yang mereka gunakan, dan dia
memakai terminologi-terminologi tersebut.di dalam karyanya kemudian. Ketika dia
tiba kembali di Tustar, dia melanjutkan kembali khotbahnya. Dia memberikan
wejangan tentang rahasia alam semesta dan membicarakan apa yang disimpan di
dalam hati para pendengar khotbahnya. Oleh karena itu dia mendapat julukan Hallaj al-asrar (kata asrar dapat berarti “ pemintal kapas”,
maka Hallaj al-Asrar berarti pemintal
kelembutan di kedalaman hati). Dia menarik minat banyak orang yang lantas
menjadi pengikutnya. Tetapi kata-katanya yang tidak lazim menakutkan sebagian
kelompok ulama sehingga al-Hallaj diumumkan sebagai seorang klenik yang
berbahaya bagi akidah.
Setahun kemudian,
al-Hallaj menunaikan ibadah hajinya yang kedua, dan kali ini dia berangkat
sebagai seorang guru yang memiliki 400 orang murid. Ada bebrapa legenda yang
menceritakan perjalanan al-Hallaj ini, yang juga menyinggung kemampuannya yang
menakjubkan dan magis (sebagian akan di muat didalam bab ini nanti).
Kisah-kisah tersebut membuahkan reputasi al-Hallaj tentang kemampuannya untuk
berkomunikasi dengan jin, mahluk halus yang memiliki kaki mengembang dan wajah
seperti kambing. Setelah menempuh perjalanan ini, al-Hallaj memutuskan untuk
meninggalkan Tustar dan tinggal di Baghdad yang juga menjadi kediaman
sekelompok sufi lainnya. Dia bersahabat dengan mereka semua, diantaranya dengan
an-Nuri dan asy-Syibli.
Pada 906 M. al-Hallaj
memutuskan untuk menjalankan tugasnya mengubah orang-orang Turki dan
non-Muslim. Dia berlayar ke India Barat, kemudia kembali ke Baghdad. Perjalanan
ini memakan waktu 6 tahun dan memberinya kemasyhuran yang luar biasa. Kemanapun
dia pergi, ia selalu disambut dan pengikutnya kian bertambah banyak.
Tahu 913 M. merupakan
titik balik bagi kerja spiritualnya. Di tahun inilah dia kembali berangkat haji
ke Mekkah. Kali ini dia menghabiskan waktu selama 2 tahun dan berakhir dengan
sebuah kesadaran tentang kebenaran. Di akhir 913 M, al-Hallaj merasa selubung
ilusinya terangkat, dan menampakan wajah kebanaran. Pada saat itulah dia
berucap, “Ana al-Haqq (Akulah
Kebenaran),”dengan nada yang meluapkan kegembiraan yang sangat. Temuan ini
membangkitkan gairahnya untuk menyaksikan cinta Illahi bagi kemanusiaan dengan
cara menjadi “domba korban”. Dia akan dihukum, tidak saja demi menaggung dosa
kaum Muslimin, tetapi juga dosa-dosa yang telah dilakukan oleh seluruh umat
manusia. Dia menjadi orang Muslimin-Kristen. Sesungguhnya dia telah mencari
tiang gantungan.
Di jalan-jalan Baghdad,
di pasar dan di Mesjid, terdengar seruan al-Hallaj yang aneh: Hei, Muslim
semuanya, tolonglah aku! Selamatkan aku dari dia! Oh umat sekalian, dia telah
izinkan kalian untuk mencucurkan darahku --- bunuh lah aku. Aku mau keparat ini
( sambil menunjuk dirinya sendiri) dibunuh.” Lalu al-Hallaj menengadah,
berpaling kepada Allah dan berkata,” ampuni semua-mua mereka, hukumlah aku atas
dosa-dosa mereka.”
Anehnya, kata-kata
al-Hallaj tersebut telah menginsfirasi orang-orang yang mendengarnya untuk
mencari perubahan di dalam kehidupan dan di dalam komunitas mereka. Lingkungan
sosial politik pada saat itu telah melahirkan banyak totolan kekecewaan, baik
di dalam komunitas masyarakat maupun di pihak penguasa. Banyak orang yang
kemudian menyampaikan saran agar Khalifah menegakkan kewajiban-kewajiban yang
dilimpahkan oleh Islam dan Allah di pundaknya. Sementara yang lainnya berusaha
mencari perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat itu sendiri.
Tiada guna
berkata-kata, al-Hallaj diseret keluar masuk pengadilan Khalifah bersama kawan
dan lawannya, para pemimpin oposisi, sebagian dari mereka adalah murid
al-Hallaj, menganggap al-Hallaj sebagai sosok Imam Mahdi, dan dengan harapan
dapat memperoleh kekuasaan, mereka mencoba memanfaatkan pengaruh al-Hallaj
untuk menciptakan huru-hara. Sementara itu para pendukung al-Hallaj
diperintahkan berupaya melindunginya agar dia dapat membantu pemerintah untuk
melakukan reformasi sosial. Dengan itu semua, terjadilah keadaan yang sangat
kacau, dan tampaknya akhir yang dramatis yang tak bisa lagi dihindari.
Pada akhirnya, pilihan
persekutuan al-Hallaj, bersama-sama dengan pandangan-pandangan agamanya,
menempatkan al-Hallaj pada pihak yang salah. Sejak 918 M. dia terus diawasi,
dan pada 923 M dia resmi ditahan. Penasihat Khalifah pada waktu itu adalah
salah seorang sahabat al-Hallaj, dialah yang berusaha mencegah setiap usaha
untuk membunuh al-Hallaj. Al-Hallaj tetap berada di dalam penjara hingga hampir
9 tahun lamanya. Selama itu al-Hallaj terperangkap di dalam perselisihan antara
sahabat-sahabatnya dan musuh-musuhnya. Ketika terjadi serangkaian pemberontakan
dan kudeta di Baghdad, al-Hallaj dan beberapa orang sahabatnya dituduh sebagai
penghasut. Peristiwa ini memicu pertarungan kekuasaan yang sengit di ruang
paseban pengadilan Khalifah. Akhirnya Wazir Khalifah, musuh bebuyutan
al-Hallaj, berurusaha membujuk para petinggi lainnya dengan pelbagai cara dan
pelbagai dalih. Kemudian, sebagai bentuk unjuk kekuatan terhadap
lawan-lawannya, dia menjatuhkan hukuman mati kepada al-Hallaj dan memerintahkan
agar al-Hallaj dieksekusi.
Tak lama kemudia al-Hallaj
dicambuk di depan orang banyak, kemudian dipertontonkan di atas tiang gantungan
dengan keadaaan tangan dan kaki yang sudah tersate. Baru pada keesokan harinya
dilakukan hukuman pancung, disaksikan langsung oleh wazir yang hadir untuk
mengumumkan hukuman tersebut. Setelah itu, sisa tubuh al-Halaj direbus dengan
minyka lalu dibakar. Abunya lalu dibawa ke sebuah menara yang ada di pesisir
Tigris, dimana angin membawa abu itu ke atas muara dan lautan.
Al-Hallaj mati dengan
cara yang paling brutal, tetapi dia tetap hidup abadi di dalam hati mereka yang
merindukan apa yang sudah diraih al-Hallaj secara spiritual. Dengan caranya
sendiri dia telah memperlihatkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh setiap
pencari kebenaran sebagai seorang kekasih yang coba meraih Sang Terkasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar