LEGENDA DAN KISAH AL-HALLAJ
Dari mana al-Husayn Ibn
Manshur mendapatkan nama panggilan al-Hallaj,
nama yang jika diterjemahkan berarti “pemintal”? sepenuturan Aththar, kisah itu
berbunyi begini: Syahdan, al-Husayn Ibn Manshur melewati sebuah gudang katun
ketika dia melihat seonggok bunga kapas. Saat itu dia menunjuk onggokan
tersebut, tiba-tiba saja biji-biji kapasanya terpisah dari serat kapasnya.
Karena itulah dia dipanggil al-Hallaj.
Dia juga diberi julukan Hallaj al-Asrar----
”pemintal Hati”, karena dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka bahkan sebelum mereka bertanya.
Al-Hallaj terkenal
karena kekuatan dan kemampuannya yang menakjubkan. Salah seorang muridnya
mencritakan kisah berikut ini:
Ketika al-Halllaj menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya, dia pergi ke sebuah pegunungan untuk mengasingkan diri bersama
beberapa orang pengikutnya. Setelah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa dia
sedang merencanakan untuk mencicipi yang manis. Murid-muridnya bertanya-tanya
bagaimana itu bisa terjadi padahal mereka telah menghabiskan seluruh bekal makanan
mereka. Al-Hallaj tersenyum lalu berjalan menuju kegelapan malam. Beberapa
menit kemudian dia kembali dengan membawa sepiring penuh kue yang masih hangat,
yang tidak mereka ketahui jenisnya. Al-Hallaj mengajak mereka memakan kue itu
bersama-sama. Salah seorang muridnya yang ingin tahu bagaimana cara al-Hallaj
memperoleh kue yang entah berasal dari mana itu, menyembunyikan jatahnya,
kemudian ketika rombongan al-Hallaj pulang dari pengasingan diri tersebut,
murid tadi mencari orang yang dapat mengenali jenis kue itu. Seorang lelaki
dari Zabid, sebuah kota yang jauh, mengenali kue itu sebagai kue buatan kampung
halamannnya. Murid al-Hallaj keheranan, menyadari bahwa al-Hallaj sebenarnya
memperoleh kue itu melalui kekuatan gaib. Dia berseru,” tidak seorang pun
kecuali jin yang dapat menempuh perjalanan sejauh itu dalam waktu yang begitu
singkat.
***
Peristiwa lain terjadi
ketika al-Hallaj sedang menyebrangi padang pasir bersama sekelompok orang di
dalam perjalanannya menuju Mekkah. Teman-teman seperjalanan al-Hallaj berdoa
agar mereka mendapatkan buah ara, dan al-Hallaj pun mengeluarkan satu nampan
penuh buah ara dari udara. Mereka kemudian meminta Halwa, al-Hallaj mengeluarkannya, dia mengeluarkan satu nampan
penuh Halwa yang masih hangat
ditaburi gula. Setelah mereka memakannya, mereka berseru bahwa rasa manis Halwa tersebut begitu mirip dengan Halwa buatan tetangga mereka di Baghdad, lalu
bertanya pada al-Hallaj bagaimana cara dia memperolehnya. Al-Hallaj hanya
menjawab bahwa baginya Baghdad maupun padang pasir tidak ada bedanya. Kemudian
mereka meminta buah kurma, al-Hallaj terdiam sejenak lantas berdiri, lalu
menyuruh mereka menggoyangkan tubuhnya seolah-olah dia adalah sebatang pohon
kurma. Mereka melakukannya, dan buah kurma yang segar pun berjatuhan dari
lengan baju al-Hallaj.
Di samping kekuatan
gaibnya, al-Hallaj juga terkenal akan kekerasan hatinya. Ketika usianya
mencapai usia 50 tahun, dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengikuti
kepercayaan tertentu, melainkan akan mengambil amalan dari agama manapun yang
paling sulit untuk nafsu-nya
(egonya). Dia tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, dan dalam setiap doa
dan sholat yang dilaksanakannya, dia melakukan penyucian diri yang paripurna.
Di awal jabatannya
sebagai ulama, al-Hallaj memiliki jubah yang sudah tua dan robek, yang sudah
dipakainya selama bertahun-tahun. Suatu hari,ada yang melepaskan jubah itu
dengan paksa, dan ternyata banyak serangga yang bersarang di dalamny----salah
satu serangga itu beratnya mencapai setengah ons. Di lain kesempatan, ketika
al-Hallaj memasuki sebuah perkampungan, orang-orang melihat seekor kalajengking
mengikutinya. Mereka berniat membunuh kalajengking itu. Al-Hallaj menghentikan
mereka, dan berkata bahwa kalajengking itu telah menjadi temannya selama 12
tahun. Agaknya al-Hallaj sudah melupakan rasa sakit ragawi.
Asketisme al-Hallaj
adalah caranya untuk meraih Tuhan; dengan Dia-lah al-Hallaj mengembangkan
hubungan yang sangat khusus juga intens. Pada suatu hari, ketika dia berada di
Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah hajinya, al-Hallaj melihat sekelompok
orang yang sedang berdoa dalam keadaan letih. Al-Hallaj ikut besujud dan
berkata “Oh, Engkau penuntun mereka yang tersesat, Engkau yang berada di atas
dan di balik setiap pujian dari mereka yang memuji-Mu, Engkau yang berada di
atas dan di balik penjelasan yang mereka berikan tentang-Mu. Engkau tahu bahwa
aku tidak mampu menunjukan rasa syukur atas segala kebaikan-Mu. Lakukanlah di
tempatku, karena hanya itulah penghargaan yang sepantasnya buat diri yang tak
tahu syukur ini.”
Kisah yang lain
menyinggung penangkapan al-Hallaj yang berakhir eksekusinya. Suatu hari
al-Hallaj berkata pada sahabatnya, asy-Syibli, bahwa dia telah disibukkan oleh
tugas besar yang hanya akan mengarahkannya kepada kematiannya. Ketika itu
al-Hallaj sudah termashur, dan berita tentang kekuatannya yang menakjubkan
telah tersebar, dia telah menarik banyak pengikut tetapi juga memiliki banyak
musuh. Khalifah sendiri pada akhirnya mengetahui bah wa al-Hallaj telah
menyerukan kalimat yang dianggap bid’ah, yaitu “ana al-Haqq”. Saat itu musuh-musuh al-Hallaj mendesaknya agar dia
mengatakan, “Dia-lah kebenaran”.
Al-Hallaj hanya menjawab, “Ya----semuanya adalah Dia! Engkau mengatakan bahwa al-Husayn
(al-Hallaj) dia telah tiada. Tetapi samudera yang melingkupinya belum musnah
punah.”
Beberapa tahun
sebelumnya, ketika al-Hallaj masih belajar di bawah asuhan al-Junayd, dia
disuruh bersabar dan diam. Tetapi al-Hallaj terlalu progresif untuk mau
menuruti nasihat tersebut, maka dia pun pergi. Beberapa tahun kemudian dia
kembali kepada al-Junayd dengan membawa setumpuk pertanyaan. Al-Junayd hanya
menjawab bahwa tidak lama lagi dia akan membuat tiang gantungan memerah karena
darahnya. Rupanya prediksi al-Junayd terbukti benar.
Ketika al-Junayd
ditanya tentang apakah ucapan al-Hallaj dapat diterjemahkan sedemikian rupa
sehingga dapat menyelamatkan hidupnya, al-Junayd menjawab, “Biarkan dia
terbunuh, karena sekarang bukan waktunya lagi untuk adu tangkas tafsir.”
Al-Hallaj pun digelandang ke penjara.
Pada malam pertamanya
sebagai tawanan, sipir penjara datang menjenguk. Mereka terheran-heran karena
ruang tahanan al-Hallaj kosong melompong, pada malam kedua, bukannya al-Hallaj
yang menghilang, melainkan penjaranya sendiri ikut lenyap! Pada malam ketiga, semuanya
kembali normal. Penjaga penjara bertanya kepada al-Hallaj.”Kemana saja dirimu
pada malam pertama? Dan apa yang terjadi padamu dan pada penjara pada malam
kedua?” al-Hallaj menjawab,”Pada malam pertama aku sedang berada di dalam
kehadiran Yang Maha agung (Tuhan), sehingga aku tidak berada di sini. Sedangkan
pada malam kedua, Yang Mahaagung berada di sini, sehingga baik aku maupun
penjara ini meluruh dalam ketiadaan. Pada malam ketiga aku dikirim pulang!”
Beberapa hari menjelang
eksekusinya, al-Hallaj ditempatkan bersama-sama dengan 300 tahanan yang disekap
bersama dengannya, semuanya dalam keadaan dirantai. Al-Hallaj mengatakan bahwa
dia akan membebaskan mereka semua. Mereka heran, karena al-Hallaj membicarakan
kebebasan mereka tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Al-Hallaj kemudian
berkata,” Kita berada di dalam rantai Tuhan di sini. Jika kita berdoa untuk
melakukannya, kita akan dapat memutuskan semua mata rantai!” lalu al-Hallaj
menunjuk rantai itu, dan rantai itu pun terkuak. Para tawanan bertanya-tanya bagaimana
mereka kan dapat melarikan diri sedangkan pintu-pintu penjara terkunci.
Al-Hallaj kembali mengacungkan jarinya, dan jalan keluar pun muncul dari dalam
dinding.
“Tidak
ikut?” Tanya mereka.
“Tidak,
ada satu rahasia yang hanya dapat diungkap di atas pilar tiang gantungan!”
jawab al-Hallaj.
Keesokan harinya sipir
penjara menanyakan apa yang telah terjadi pada tawanan lainnya. Al-Hallaj
menjawab bahwa dia telah membebaskan mereka.
”Kenapa kamu tidak ikut pergi?” Tanya sipir.
“Yang Agung telah menyalahkan aku, jadi aku harus tetap
tinggal untuk menerima hukuman,” jawab al-Hallaj.
Ketika Khalifah
mendengar percakapan tersebut, Khalifah berfikir bahwa al-Hallaj akan membuat
kekacauan lagi. Oleh karena itu dia memerintahkan, “Bunuh dia atau cambuk dia
hingga dia mengakui kesalahannya!” al-Hallaj pun dicambuk dengan cemeti
sebanyak 300 kali. Disetiap cambukan terdengar suara lengkingan dari sang
algojo, “jangan takut, putra Manshur.” Di kemudian hari, ketika guru Sufi Syekh
Syaffar mengingat kembali peristiwa itu, dia mengatakan, “Aku lebih mempercayai
keyakinan sang algojo ketimbang keyakinan al-Hallaj. Si algojo harus punya
keyakinan yang kuat ketika mengeksekusi Hukum Ketuhanan, karena suara
teriakannya terdengar begitu jelas namun tangannya tetap mantap.”
Al-Hallaj diseret ke
tiang gantungan. Ratusan ribu orang berkumpul untuk menyaksikannya. Al-Hallaj
menatap mereka, lalu dia berteiak: “Haqq,
haqq, haqq, Ana al-Haqq,”---- Kebenaran, kebenaran, kebenaran, Akulah
Kebenaran.”
Pada saat itu ada yang
menghiba memohon pinta kepada al-Hallaj untuk mengajarinya hakikat Cinta.
Al-Hallaj mengatakan bahwa dia akan melihat Cinta pada hari itu, besoknya dan
besoknya lagi. Al-Hallaj dibunuh pada hari itu, hari berikutnya tubuhnya
dibakar, dan di hari ketiga abu jasadnya disebarkan oleh angin. Melalui
kematiannya, al-Hallaj menunjukan bahwa Cinta berarti menderita demi
kepentingan yang lain.
Ketika berjalan menuju
tiang pergantungan, al-Hallaj berjalan dengan penuh rasa tegar dan bangga.
“Kenapa engkau berjalan
dengan begitu bangganya seakan tidak terjadi apa-apa?”Tanya orang-orang.
“Aku bangga karena aku
sedang barjalan menuju tempat penjagalan!” kata al-Hallaj. Kemudia dia
bersenandung.
Kekasihku yang
tercinta tak pernah menanggung kebersalahan,
Dia beri aku tegukan
anggur dan pancaran
Perhatian
yang berlebihan;
Seperti tuan rumah yang
menjamu tamunya,
Setelah
waktu berlalu
Dia mengmbil sebilah
pedang dan lapik eksekusi
Inilah balasan bagi
mereka yang mereguk anggur tua
Bersama singa tua di
tengah meranggasnya panas matahari.
Ketika al-Hallaj
diminta naik ke atas panggung tiang gantungan, dengan kemauannya sendiri
al-Hallaj menaiki tangga panggung tersebut. Seseorang bertanya tentang hal-nya (kondisi spiritual, emosi-emosi
bersifat pedalaman-diri). Al-Hallaj menjawab bahwa perjalanan spiritual seorang
pahlawan dimulai di atas tiang gantungan. Al-Hallaj kemudian memanjatkan doa
dan berjalan tegar, tanpa tak sedikt pun gentar dang getas.
Sahabatnya asy-Syibli,
yang juga hadir di situ, coba bertanya, “Apakah sufisme itu?” Dengan suara yang
sudah agak parau karena deraan siksa yang berlaksa, al-Hallaj menjawab bahwa
apa yang dilihat asy-Syibli adalah tahapan sufisme yang paling rendah.
“Apa lagi yang lebih
tingi dari itu?” seru asy-Syibli.
“aku khawatir engkau
tidak punya cara untuk mengetahuinya,”
Jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj
meringkuk lemah di tiang gantungan, setan datang dan bertanya, “Kamu telah
mengatakan ‘Aku’ dan aku pun telah mengatakan ‘Aku’. Kenapa kamu menerima
ampunan Tuhan yang abadi sedangkan aku mendapatkan kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab,
“Engkau mengatakan ‘Aku’ dan memandang pada dirimu sendiri, sedangkan aku
menjauhkan diriku sendiri dari itu. Maka dari itu, aku memperoleh ampunan
sedangkan engkau mendapatkan kutukan. Memikirkan diri adalah hal yang tidak
pantas, sedangkan melepaskan adalah perbuatan baik di atas semua kebaikan.”
Kerumunan orang mulai
melempari al-Hallaj dengan batu. Tetapi ketika asy-Syibli melemparinya dengan
setangkai bunga, untuk pertama kalinya al-Hallaj terengah dalam rintihan
kesakitan. Seseorang bertanya, “Tak sedikit pun engkau memperlihatkan rasa
sakit ketika dilempari dengan batu, tetapi mengapa hanya setangkai bunga
membuatmu sakit sedemikian rupa. Kenapa begitu?”
Al-Hallaj berkata,
“Mereka yang bodoh dimaafkan. Namun sulit melihat asy-Syibli melempariku,
karena dia tahu bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.”
Sang algojo kemudian
memotong lengannya. Al-Hallaj tertawa dalam kepayahan dan berkata,” Memenggal
tangan seorang laki-laki yang terluka adalah kerja paling mudah, tetapi
diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan dari seluruh perlambang yang
memisahkan manusia dari Tuhan.” (dengan kata lain, untuk meninggalkan dunia
yang besifat ganda dan masuk ke dalam kesatuan Tuhan memerlukan upaya yang luar
biasa besarnya). Sang algojo kemudian memotong kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan
meneruskan ucapannya dengan nada menantang,” Aku berkelana di atas bumi
menggunakan kedua kaki ini. Aku punya yang lain untuk berkelana di kedua dunia.
Coba potong itu jika kau mampu.”
Al-Hallaj kemudian
mengusap wajahnya dengan tanggannya yang sudah bunting sehingga wajah dan
tangannya bersimbah merah darah.”Kenapa engkau melumuri wajahmu dengan darah?”
Tanya orang-orang. Al-Hallaj menjawab bahwa karena dia telah kehilangan banyak
darah yang membuat wajahnya menjadi pucat. Dia mewarnai pipinya dengan darah
agar mereka tidak berfikir bahwa dia takut mati.
”Lantas,” mereka
kembali bertanya, ” Kenapa engkau melumuri lenganmu dengan darah?”
“Aku sedang berwudhu.
Karena di dalam sholat Cinta hanya ada dua rakaat, dan itu memerlukan penyucian
dengan darah.”
Sang algojo kemudian
mencongkel mata al-Hallaj. Hadirin yang menyaksikan menjerit, sebagian
menangis, sedangkan yang lainnya mengutuk. Lalu telinga dan hidunya juga
dipotong.
Sang algojo baru akan
memotong lidahnya, ketika al-Hallaj kembali diminta untuk mengucapkan sesuatu.
Al-Hallaj berkata, “Oh, Tuhan, jangan palingkan orang-orang ini dari-Mu atas
perbuatan yang mereka lakukan untuk-Mu. Pujilah Allah, karena memotong anggota
tubuhku demi engkau, dan apabila mereka memenggal kepalaku, itu juga terjadi
karena keagungan-Mu.”Lalu dia menyenandungkan sebaris ayat Alquran: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa
yang di jauhkan dari api Neraka dan di masukan ke dalam Syurga, maka sungguh ia
telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenagan yang menipu
daya.”QS.3:185)
Dan inilah kata-katanya
yang paling pungkas: “Bagi mereka yang sedang bersuka cita, Keksih yang
Tercintalah satu-satunya yang mencukupi.”
Tubuh al-Hallaj yang
sudah tak berbentuk itu, yang masih memperlihatkan tanda-tanda kehidupan,
ditinggalkan di atas tiang gantungan sebagai pelajaran untuk yang lainnya. Baru
pada keesokan harinya sang algojo memancung kepalanya. Ketika peristiwa
pemancungan itu terjadi, al-Hallaj tersenyum lalu meninggal.
Orang-orang menjerit,
namun al-Hallaj telah menunjukan betapa bahagia dan berharga baginya untuk bisa
bersama kehendak Tuhan.
Setiap bagian tubuhnya
mulai menjeritkan kalimat, “Ana al-Haqq”.
Pada saat kematiannya, setiap tetes darahnya yang jatuh ke bumi melukis nama
Allah.
Di hari berikutnya.
Mereka yang berkomplot menentang al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun
menimbulkan masalah bagi mereka. Oleh karena itu mereka memrintahkan agar tubuh
al-Hallaj dibakar saja, tetapi meskipun telah menjadi abu, al-Hallaj tetap
berteriak, “Ana al-Haqq”.
Al-Hallaj telah
meramalkan peristiwa kematiannya dan menceritakan kepada pelayannya, bahwa abu
mayatnya akan dilabuhkan ke muara Tigris. Saat itu permukaan airnya akan
meningkat begitu tinggi sehingga seluruh Baghdad akan terancam tenggelam.
Al-Hallaj memerintahkan pelayannya untuk membawa jubahnya ke muara Tigris ketika
hal itu terjadi, agar airnya kembali tenang. Pada hari ketika abunya
benar-benar dibawa angin dan tersebar ke dalam air muara sungai Tigris, air itu
terbakar dan terdengar suara, “Ana al-Haqq.”
Permukaan air mulai meningkat. Pelayan al-Hallaj pun melaksanakan apa yang
sudah diperintahkan tuannya. Permukaan airnya kembali turun, apinya menghilang,
dan akhirnya abu al-Hallaj terdiam.
Seorang figur yang
terkenal pada masa itu berkisah bahwa dia telah berdoa semalam suntuk di bawah
panggung eksekusi al-Hallaj. Dan menjelang pagi, dia mendengar sosok tak
terlihat berkata, “Kami telah membagi satu rahasia Kami dan dia tidak
menyimpannya. Sungguh inilah hukuman bagi mereka yang menceritakan rahasi-rahasia
kami.
Sementara asy-Syibli menceritakan
bahwa sehari kemudian dia melihat al-Hallaj di dalam mimpinya. Dia bertanya
kepada al-Hallaj, “Bagaimana Tuhan akan menghukum orang-orang ini?” al-Hallaj menjawab
bahwa mereka yang mengetahui bahwa mereka benar dan mendukungnya. Mereka
berbuat begitu demi Tuhan. Dan mereka yang ingin melihat dia mati adalah
orang-orang yang buta akan kebenaran dan karenanya menginginkan dia mati,
tetapi mereka juga berbuat begitu karena Tuhan. Jadi Tuhan akan mengampuni
kedua kelompok tersebut; kedua kelompok tersebut akan diberkati.
Wassalam…
Demikian kisah sufi
al-Hallaj dan insya Allah di lain waktu saya akan posting kisah para sufi
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar